Akuntansi Persediaan : Perbedaan sistim Periodik VS Perpektual
Dalam akuntansi persediaan, ada dua sistim yang
lumrah digunakan, yaitu: sistim periodik dan sistim perpetual. Bagi pegawai
accounting, sistim persediaan periodik atau perpetual—yang diterapkan di dalam
perusahaan—menentukan bagaimana pencatatan transaksi persediaan dilakukan.
Sedangkan bagi pengelola keuangan dan pengelola usaha, sistim persediaan yang
diterapkan menentukan seberapa efektif persediaan bisa dikelola—terutama aspek
pengawasannya.
Melalui tulisan ini, saya ingin membahas mengenai sisim persediaan periodik
dan perpetual, mulai dari pebedaaan yang paling fundamental, perbadingan
jurna-per-jurnal, hingga implikasinya terhadap laporan keuangan dan pengelolaan
persediaan.
Dengan kehadiran pembahasan ini, saya berharap pembaca memperoleh gambaran
yang jelas mengenai sistim persediaan periodik dan perpetual, dalam tataran
inplementasi di perusahaan. Namun sebelum itu, mari kita lihat sekilas; apa itu
persediaan.
Persediaan dan Impilkasinya Terhadap Laporan Keuangan
Sebelum berpikir yang rumit-rumit—termasuk implikasi (pengaruh) persediaan
terhadap laporan keuangan dan pengelolaan keuangan, APA ITU PERSEDIAAN?
Sederhananya, yang disebut persediaan
adalah apa yang oleh masyarakat umum kenal dengan istilah “stok”. Di Eropa,
sampai sekarang masih menggunakan istilah “stock”. Tetapi secara internasional persediaan
disebut dengan istilah “inventory”, yang disebut stock justru saham.
Mau disebut inventory, mau disebut
stock, silahkan. Yang lebih penting di sini: wujud dari persediaan itu berupa
apa?
Wujud fisik persediaan suatu perusahaan tergantung pada jenis usahanya.
Meskipun pada kenyataannya ada banyak jenis atau model usaha, dalam
akuntansi—untuk tujuan penyederhanaan—jenis usaha biasanya hanya dibagi menjadi
3 kelompok saja.
Berikut adalah 3 jenis perusahaan beserta persediaannya:
·
Perusahaan Jasa (misal: konsultan, agen, broker, dll) – Tidak memiliki
persediaan
·
Perusahaan Dagang (misal: toko, mini market, dll) – Persediaannya berupa
barang jadi
·
Perusahaan Manufaktur (misal: pabrik gula, pabrik pakaian jadi, dll) –
Persediaannya berupa: (a) bahan baku; (b) bahan penolong; (c) barang dalam
proses; dan (d) barang jadi.
Persediaan berimplikasi luas
terhadap pelaporan keuangan
dan pengelolaan keuangan perusahaan.
Apa implikasinya terhadap laporan
keuangan? Persediaan berimplikasi langsung terhadap Neraca dan Laporan
Laba-Rugi:
·
Di Neraca, persediaan disajikan
dalam kelompok “Aktiva Lancar” (current assets)—setelah akun “Piutang”
(silahkan lihat contoh format Neraca), sehingga besar-kecilnya nilai saldo
persediaan yang disajikan berpengaruh terhadap besar kecilnya nilai aktiva
(aset) secara keseluruhan.
·
Di Laporan Laba Rugi, besar kecilnya
PENGGUNAAN persediaan (bahan baku, bahan penolong dan barang jadi) menentukan
besar kecilnya “Harga Pokok Penjualan” (HPP), yang pada akhirnya juga akan
menentukan besar kecilnya “Laba” atau “Rugi” yang disajikan di dalam laporan
laba-rugi. Pada akhirnya, besar-kecilnya laba/rugi yang dibukukan pada suatu
periode akuntansi berimplikasi terhadap besar-kecilnya “Laba Ditahan” (Retained
Earning) yang disajikan di Neraca—persisnya di kelompok akun “Ekuitas.”
Oke. Implikasi persediaan terhadap
laporan keuangan sudah jelas terlihat. Pertanyaannya: Apakah
penerapan sistim persediaan periodik/perpetual berpengaruh terhadap laporan
keuangan? Maksud saya, apakah dengan menggunakan sistim perpetual
membuat laporan keuangan menjadi berbeda jika dibandingkan dengan menggunakan
sistim periodik?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat perbandingan antara sistim
persediaan periodik dengan perpetual. Yuk pindah ke paragraf berikutnya…
Perbedaan Paling Fundamental Antara Sistim Periodik dan Perpetual
Perbedaan paling mencolok antara sistim periodik dengan sistim perpetual
ada pada 2 hal:
1. Penentuan Nilai Saldo Akhir
Persediaan di Neraca:
(a) Sistim Periodik – Jika
perusahaan menerapkan sistim periodik, nilai saldo akhir persediaan di Neraca
ditentukan dengan cara melakukan penghitungan fisik persediaan yang lumrah
dikenal dengan istilah “stok opname” —sederhananya; di akhir periode, fisik
barang bersediaan (bahan baku, bahan penolong, barang dalam proses dan barang
jadi) dihitung jumlahnya. Jumlah fisik barang lalu dikalikan dengan Harga Pokok
Penjualan (HPP) satuan barang.
(b) Sistim Perpetual – Jika yang
diterapkan adalah sistim perpetual, perusahan tidak perlu melakukan
penghitungan fisik untuk menentukan nilai saldo akhir persediaan., karena
setiap transaksi terkait dengan persediaan—baik kenaikan maupun penurunan—telah
dicatat melalui penjurnalan. Meskipun demikian, penghitungan fisik tetap
dilakukan untuk kemudian dibandigkan dengan saldo akhir yang ditunjukan oleh
buku persediaan. Jika terjadi perbedaan antara saldo akhir hasil penghitungan
fisik dengan saldo akhir yang ditunjukan oleh buku persediaan, maka dibuatkan
rekonsiliasi persediaan dengan memasukan jurnal penyesuaian persediaan
(inventory adjustment entry).
2. Penentuan Persediaan Digunakan (atau
Terjual) dalam Harga Pokok Penjualan:
(a) Sistim Periodik – Jika
perusahaan menggunakan sistim periodik, maka nilai persediaan yang digunakan
(dan terjual)—untuk dibebankan sebagai “Harga Pokok Penjualan”, dihitung dengan
cara menjumlahkan saldo awal persediaan dengan total pembeliaan (atau
persediaan masuk) lalu dikurangi dengan saldo akhir persediaan yang diperoleh
melalui penghitungan fisik. Misalnya: Data persediaan JAK Mart (perusahaan
dagang) untuk tahun 2012 adalah sbb:
·
Saldo awal = Rp 20,000,000
·
Pembelian Bersih Jan s/d Des 2012 = Rp 150,000,000
·
Saldo akhir 31 Desember 2012 (diketahui setelah penghitungan fisik) = Rp
22,000,000
Harga Pokok Penjualan = 20,000,000 +
150,000,000 – 22,000,000 = 148,000,000. Selanjutnya harga pokok ini dimasukan dengan
journal penyesuaian (sebentar lagi kita bahas di perbandingan jurnal.)
(b) Sistim Perpetual – Dengan sistim
perpetual, perusahaan tidak perlu lagi membuat perhitungan seperti pada sistim
periodik karena penggunaan persediaan langsung diakui setiap kali ada penjualan
dengan mendebit akun “Harga Pokok Penjualan” dan mengkredit “Persediaan” di
sisi lainnya, seperti jurnal di bawah ini:
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = xxx
[Kredit]. Persediaan = xxx
[Kredit]. Persediaan = xxx
“Oke. Dengan sistim perpetual
setiap transaksi yang mengakibatkan kenaikan atau penurunan volume persediaan
selalu dicatat dengan memasukan jurnal begitu transaksi terjadi. Apakah dengan
sistim periodik transaksi-transaksi yang terjadi tidak dicatat samasekali?”
Mungkin ada yang berpikir seperti itu.
Tentu saja dicatat. Hanya saja, biasanya, menggunakan nama akun berbeda
dibandingkan jika menggunakan sistim perpetual. Untuk lebih jelasnya, mari kita
lihat transaksi-per-transaksi. Lanjut…
Perbandingan Sistim Periodik Vs Perpetual Transaksi-Per-Transaksi
Ada banyak transaksi yang mengakibatkan volume persediaan menjadi meningkat
atau menurun selama satu periode. Di sini kita lihat perbandingan sistim
periodik dan perpetual transaksi-per-transaksi, jurnal-per-jurnal.
1. Pembelian dan Penjualan Barang
Dalam sistim perpetual, pembelian dan penjualan barang persediaan dicatat
langsung ke akun “Persediaan,” dengan kata lain: perubahan nilai nominal dan
volume persediaan langsung terlihat dalam buku besar (ledger) persediaan setiap
kali ada transaksi pembelian dan penjualan. Sedangkan dalam sistim periodik
yang dicatat hanya kenaikan nilai dan volume persediaan melalui akun yang
disebut dengan “Pembelian”, sementara tidak mencatat adanya penurunan pada
setiap transaksi penjualan yang terjadi (penurunan persediaan diakui sekaligus
di akhir periode dengan melakukan pemeriksaan fisik). Untuk lebih jelasnyanya,
kita lihat contoh berikut ini:
JAK Mart, Perusahaan Grossir, menunjukan data sbb:
(a) Saldo Awal Persediaan = 100 units @ Rp 60,000 = Rp 6,000,000
(b) Pembelian = 900 units @ Rp 60,000 = Rp 54,000,000
(c) Penjualan = 600 units @ Rp 120,000 = Rp 72,000,000
(d) Saldo Akhir = 400 units @Rp 60,000 = Rp 24,000,000
(b) Pembelian = 900 units @ Rp 60,000 = Rp 54,000,000
(c) Penjualan = 600 units @ Rp 120,000 = Rp 72,000,000
(d) Saldo Akhir = 400 units @Rp 60,000 = Rp 24,000,000
(Note: Untuk
menghindari penggunaan cost flow—yang bisa membingungkan, kita asumsikan cost
per unit persediaan konstan dari awal hingga akhir periode)
Jika JAK Mart menggunakan sistim
perpetual, maka alur transaksi dan jurnalnya akan nampak sbb:
(a) Saldo awal persediaan (di Neraca) = Rp 6,000,000
(b) Pembelian 900 units dengan harga Rp 60,000 per unit dicatat dengan
jurnal:
[Debit]. Persediaan = Rp 54,000,000
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 54,000,000
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 54,000,000
(c) Penjualan 600 units dengan harga Rp 120,000 per unit dicatat dengan
sepasang jurnal:
[Debit]. Piutang Dagang = Rp 72,000,000
[Kredit]. Penjualan = Rp 72,000,000
(Untuk mengakui penjualan dan piutang)
[Kredit]. Penjualan = Rp 72,000,000
(Untuk mengakui penjualan dan piutang)
Dan;
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 36,000,000
[Kredit]. Persediaan = Rp 36,000,000
(Untuk mengakui harga pokok penjualan sekaligus penurunan nilai inventory, 60,000 x 600 = Rp 36,000,000.)
[Kredit]. Persediaan = Rp 36,000,000
(Untuk mengakui harga pokok penjualan sekaligus penurunan nilai inventory, 60,000 x 600 = Rp 36,000,000.)
(d) Kecuali ada perbedaan antara hasil penghitungan fisik dengan buku, maka
tidak ada jurnal penyesuaian yang perlu dimasukan. Saldo akhir persediaan
otomatis menunjukan nilai Rp 24,000,000.
Bagaimana jika JAK Mart menggunakan
sistim periodik? Jurnalnya akan nampak sebagai berikut:
(a) Saldo awal persediaan (di Neraca) = Rp 6,000,000
(b) Pembelian 900 units dengan harga Rp 60,000 per unit dicatat dengan
jurnal:
[Debit]. Pembelian = Rp 54,000,000 (menggunakan akun pembelian)
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 54,000,000
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 54,000,000
(c) Pada sistim periodik, penjualan 600 units dengan harga Rp 120,000/unit
dicatat hanya dengan satu jurnal saja—untuk mengakui penjualan dan piutang
dagang (Note: penurunan persediaan dan pengakuan harga pokok penjualan
dilakukan sekaligus di akhir periode):
[Debit]. Piutang Dagang = Rp 72,000,000
[Kredit]. Penjualan = Rp 72,000,000
(Untuk mengakui penjualan dan piutang)
[Kredit]. Penjualan = Rp 72,000,000
(Untuk mengakui penjualan dan piutang)
(d) Di akhir periode, setalah dilakukan penghitungan fisik, JAK memasukan
jurnal penyesuaian—untuk mengakui persediaan, harga pokok penjualan, sekaligus
‘menghapus’ saldo akun “Pembelian”—sebagai berikut:
[Debit]. Persediaan = Rp 18,000,000
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 36,000,000
[Kredit]. Pembelian = Rp 54,000,000
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 36,000,000
[Kredit]. Pembelian = Rp 54,000,000
Note: Dengan jurnal
penyesuaian yang dimasukan di akhir periode ini, maka saldo akun “Pembelian”
menjadi nol, saldo akhir persediaan di Neraca menjadi Rp 24,000,000 (=saldo
awal 6,000,000 + adjustment kenaikan 18,000,000), dan muncul Harga Pokok
Penjualan di Laporan Laba-Rugi sebesar Rp 54,000,000 (=6,000,000 + 54,000,000 –
24,000,000).
2. Retur Pembelian, Diskon Pembelian dan
Cadangan
Apa yang terjadi jika ada retur pembelian atau diskon? Perusahaan yang
menerapkan sistim periodik, disamping menggunakan akun “Pembelian”—yang
bersaldo debit mereka juga menggunakan 2 kontra-akun pembelian (bersaldo
kredit) yang diberi nama “Retur Pembelian” dan “Diskon Pembelian.” Jika ada
pembelian yang dikembalikan (retur pembelian) atau memeperoleh potongan, maka
kontra akun ini menjadi pengurang nilai “Pembelian”. Hasil silang saldo
“Pembelian” dan kedua kontra-akun ini menghasilkan apa yang disebut dengan
“Pembelian Bersih”. Bagaimanapun juga, semua slado akun ini (Pembelian, Diskon
Pembelian dan Retur Pembelian) bersifat sementara saja, nantinya akan dihapus
degan jurnal penyesuaian di akhir periode (seperti terlihat pada contoh jurnal
penyesuaian sebelumnya). Untuk lebih konkoretnya, kita buat satu contoh
transaksi:
Karena adanya
kerusakan, JAK Mart mengembalikan pembelian barang sebesar Rp 7,000,000.
Jika JAK Mart menerapkan sistim
perpetual, maka JAK akan mengakui penurunan nilai utang sekaligus langsung mengakui
penurunan nilai persediaan, dengan jurnal:
[Debit]. Utang Dagang = Rp 7,000,000
[Kredit]. Persediaan = Rp 7,000,000
(Note: Pengembalian barang mengurangi nilai persediaan sebesar Rp 7,000,000)
[Kredit]. Persediaan = Rp 7,000,000
(Note: Pengembalian barang mengurangi nilai persediaan sebesar Rp 7,000,000)
Jika JAK Mart menerapkan sistim periodik, maka jurnalnya
adalah sbb:
[Debit]. Utang Dagang = Rp 7,000,000
[Kredit]. Retur Pembelian = Rp 7,000,000
(Note: pembelian megurangi nilai pembelian)
[Kredit]. Retur Pembelian = Rp 7,000,000
(Note: pembelian megurangi nilai pembelian)
Lanjut dengan diskon…
Di lain kesempatan JAK
Mart membeli barang sebesar Rp 10,000,000 dengan termin kredit 2/10, n/30.
Karena JAK Mart bisa melakukan pelunasan seminggu setelah pembelian, maka JAK
Mart memperoleh diskon 2%. Bagimana jurnalnya?
Jika menerapkan sistim perpetual, maka saat pembelian
JAK Mart memasukan jurnal:
[Debit]. Persediaan = Rp 10,000,000
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000
Saat pelunasan, diskon Rp 200,000 tersebut sekaligus diakui sebagai
pengurang nilai persediaan, dengan jurnal:
[Debit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000
[Credit]. Persediaan = Rp 200,000
[Credit]. Kas = Rp 9,800,000
[Credit]. Persediaan = Rp 200,000
[Credit]. Kas = Rp 9,800,000
Jika menggunakan sistim periodik, maka saat pembelian
jurnal yang dimasukan adalah:
[Debit]. Pembelian = Rp 10,000,000
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000
Diskon yang diperoleh tidak diakui sebagai pengurang nilai persediaan
(ingat: sistim periodik tidak mencatat persediaan tetapi “pembelian”),
melainkan dicatat sebagai “Diskon Pembelian.” Sehingga jurnal yang dimasukan
ketika melakukan pelunasan adalah sbb:
[Debit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000
[Credit]. Diskon Pembelian = Rp 200,000
[Kredit]. Kas = Rp 9,800,000
[Credit]. Diskon Pembelian = Rp 200,000
[Kredit]. Kas = Rp 9,800,000
3. Retur Penjualan dan Diskon Penjualan
Transkasi lainnya yang terkait dengan persediaan adalah retur penjualan dan
diskon penjualan. Pada transaksi ini, baik sistim perpetual maupun sistim
periodik sama-sama meggunakan akun yang diberi nama “Retur Penjualan” dan
“Diskon Penjualan”—yang kedua-duanya merupakan kontra-akun penjualan (bersaldo
debit), bedanya hanya di pengakuan “Harga Pokok Penjualan”. Pada sistim
perpetual return penjualan, disamping mengakui penurunan piutang dagang dan
penurunan penjualan (dengan akun “retur penjualan”) juga mengakui penurunan
harga pokok penjualan dan persediaan. Sedangkan pada sistim periodik, tidak.
Misalnya:
JAK Mart menerima
barang kembali dari pelanggan (karena cacat) senilai Rp 6,000,000. Harga Pokok
Penjualan barang yang diretur tersebut adalah Rp 3,000,000. (Kita asumsikan
pengakuan penjualan menggunakan metode bruto/gross method)
Jika menggunakan perpetual, maka JAK Mart akan
mencatat retur tersebut dengan sepasang jurnal:
[Debit]. Retur Penjualan = Rp 6,000,000 (kontra akun penjualan bersaldo
debit)
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 6,000,000
(Untuk mengakui retur penjualan)
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 6,000,000
(Untuk mengakui retur penjualan)
Dan;
[Debit]. Persediaan = Rp 3,000,000
[Kredit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 3,000,000
(Untuk mengakui barang persediaan yang telah dikembalikan sekaligus menguragi harga pokok penjualan).
[Kredit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 3,000,000
(Untuk mengakui barang persediaan yang telah dikembalikan sekaligus menguragi harga pokok penjualan).
Sedangkan jika menggunakan sistim
periodik, JAK Mart hanya akan memasukan satu jurnal saja, yaitu:
[Debit]. Retur Penjualan = Rp 6,000,000
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 6,000,000
(Untuk mengakui retur penjualan)
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 6,000,000
(Untuk mengakui retur penjualan)
Catatan: Sistim periodik baru
akan menghitung saldo persediaan dan mengakui harga pokok penjualan di akhir
periode—setelah penghitungan fisik dilakukan.
Selanjutnya, diskon penjualan. Bagaimana
pencatatanya?
Oke. Anggap JAK Mart
memberikan diskon Rp 200,000 atas pelunasan pembelian sebesar Rp 10,000,000
dari pelanggan (masih menggunakan metode pengakuan penjualan bruto/gross
method)
Sistim perpetual dan sistim periodik
memasukan jurnal yang sama persis untuk pelunasan yang mengandung
diskon penjualan. Dalam contoh ini:
[Debit]. Kas = Rp 9,800,000
[Debit]. Diskon Penjualan = Rp 200,000 (kontra akun penjualan bersaldo debit).
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 10,000,000
[Debit]. Diskon Penjualan = Rp 200,000 (kontra akun penjualan bersaldo debit).
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 10,000,000
Secara keseluruhan, dari pebandingan
jurnal—antara sistim periodik dan perpetual, jelas terlihat bahwa:
Terhadap laporan keuangan yang disajikan di setiap akhir periode,
menggunakan sistim perpetual atau periodik tidak berpengaruh apa-apa, dalam
pengertian: nilai saldo akhir persediaan (yang disajikan di neraca) dan harga
pokok penjualan (yang disajikan di laporan laba-rugi), akan menunjukan hasil
yang sama.
Bedanya, hanya terjadi pada teknis pengakuan dan nama akun yang digunakan
pada setiap pengakuan transaksi. Sistim perpetual selalu mendebit/mengkredit
akun “Persediaan” untuk setiap transaksi yang mengakibatkan kenaikan atau
penurunan persediaan. Sedangkan sistim periodik—untuk sementara—menggunakan
akun “Pembelian” untuk setiap penambahan persediaan dan baru memperhitungkan
penurunan persediaan di akhir periode—sertelah penghitungan fisik dilakukan.
Bagaimana jika perusahaan yang
menerapkan sistim periodic—terpaksa harus menyajikan laporan padahal periode
belum berakhir—misalnya: untuk pengajuan kredit? Perusahaan bisa
(a) menggunakan laporan periode sebelumnya, atau (b) melakukan penghitungan
fisik saat itu juga lalu menjalankan prosedur seperti yang dilakukan di akhir
periode.
Oke. Penerapan sistim periodik atau
perpetual tidak ada pengaruhnya terhadap laporan keuangan. Bagaimana dengan
pengelolaan persediaan dan keuangan secara keseluruhan? Mari kita lihat
implikasinya… Lanjut…
Implikasi Penerapan Sistim Periodik dan Perpetual Terhadap Pengelolaan
Persediaan
Dari perbenadingan di atas, jelas terlihat bahwa: untuk tujuan pengawasan
persediaan, sistim perpetual jauh lebih baik dibandingkan sistim periodik.
Dengan sistim perpetual, management dapat mengetahui nilai persediaan
sewaktu-waktu—tanpa perlu menunggu hingga akhir periode.
Khususnya di perusahaan-perusahaan manufaktur, pengawasan terhadap barang
persediaan sangat kompleks—dengan adanya potensi barang scrap dan cacat yang
lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan jenis lain. Dalam kondisi seperti
ini, jika sistim persediaan yang diterapkan adalah sistim periodik—dimana
penurunan (volume dan nilai persediaan) baru diperhitungkan di akhir periode,
maka kesempatan untuk mengetahui adanya pemborosan bahan baku, bahan penolong
dan kemungkinan adanya barang cacat saat dalam proses produksi menjadi lebih
sulit ditelusuri—kemungkinan baru diketahui setelah di akhir periode, dengan
kata lain: sudah terjadi.
Efektifitas pengawasan terhadap barang persediaan berimplikasi besar
terhadap pengelolaan keuangan perusahaan secara keseluruhan. Terutama di
perusahaan dagang dan manufaktur, sebagian besar kekayaan (asset) perusahaan
ada di persediaan—entah itu berupa bahan baku, bahan penolong, barang dalam
proses maupun barang jadi. Diantara banyaknya beban yang ditanggung oleh
operasional perusahaan, penggunaan persediaan cenderung mendominasi. Jika
scope-nya dipersempit, persediaan bahkan mengkonsumsi modal kerja (working
capital) paling besar.
Itu sebabnya, bagi managemen perusahaan, pemilihan sistim persediaan yang
akan diterapkan (apakah menggunakan sistim perpetual atau periodik) menjadi
sangat krusial.
“Lalu, apakah sebaiknya saya
menerapkan sistim persediaan perpetual atau periodik?” Mungkin ada yang
berpikir demikian. Kita pindah ke paragraph selanjutnya…
Apakah Sebaiknya Menggunakan Sisitim Persediaan Periodik atau Perpetual?
Jawaban atas pertanyaan ini sangat tergantung pada situasi dan kondisi
opersional perusahaan anda sehari-hari.
Dari aspek pelaporan keuangan, menurut saya, tak ada yang perlu
dikhawatirkan. Menggunakan sistim perpetualpun, toh di akhir periode anda masih
harus melakukan stock opname (inventory physical count) untuk memverifikasi
keakuratan data persediaan yang diperoleh dari sistim perpetual. Dan, jika
terjadi perbedaan antara hasil penghitungan fisik dengan saldo akhir buku, toh
anda masih harus membuat rekonsiliasi dan inventory adjustment, iya kan?
Tetapi dari aspek pengawasan persediaan, sistim perpetual jelas lebih baik
dibandingkan sistim periodik. Tetapi perlu di sadari bahwa: menerapkan sistim
perpetual artinya anda harus siap melakukan pencatatan setiap kali ada
transaksi sehubungan dengan persediaan.
Untuk perusahaan-perusahaan berskala besar, jelaslah bahwa sistim perpetual
selalu lebih baik—lagipula tenaga untuk melakukan input data setiap saat selalu
ada. Tetapi untuk perusahaan berskala sedang dan kecil, menerapkan sistim
perpetual bisa menjadi tantangan tersediri. Masih perlu melihat kondisi
operasional perusahaan sehari-hari.
Untuk mempermudah, saya buatkan 2 macam
perusahaan—dengan karakter opersional yang sangat berbeda, sebagai ilustrasi:
1. Perusahaan Pertama, Computer
Wholesaler – Anda mengelola perusahaan yang menjual komputer dalam jumlah besar,
pangsa pasar perusahaan anda bisa jadi pengguna akhir maupun pedagang computer
eceran. Sebelum memilih apakah menggunakan sistim persediaan periodik atau
perpetual, anda perlu mempertimbangkan kondisi operasional perusahaan
anda. Bagaimana kondisinya?
·
Barang dagangan anda adalah tergolong bernilai tinggi
·
Iklan produk/perushaan anda muncul di TV atau suratkabar lokal setiap hari
·
Volume penjualan harian anda sangat tinggi
·
Anda mempekerjakan lebih dari 40 orang pegawai sales
·
Anda membayangkan bahwa pelanggan akan sangat kecewa jika mereka datang
berbelanja tetapi barang persediaan yang anda iklankan ternyata sudah habis
terjual
Dengan kondisi operasional perusahaan
seperti ini, apakah menggunakan sistim perpetual cukup masuk akal? Jelas iya. Anda
perlu mengetahui saldo persediaan barang setiap hari—bahkan mungkin setiap jam
atau menit, yang tidak mungkin bisa anda dapatkan jika menggunakan sistim
periodik. Dengan sistim perpetual, setiap transkasi penjualan selalu diikuti
dengan pencatatan barang keluar, sementara dalam sistim periodik tidak.
2. Perusahaan Kedua, Toko Serba Ada Di
Stasiun Kereta Api – Di sini anda mengelola toko yang menjual berbagai macam barang,
untuk orang-orang sibuk yang bepergian kesana-kemari dengan kondisi yang selalu
terburu-buru. Anda perlu mempertimbangkan kondisi opersional toko anda sebelum
memutuskan untuk menerapkan sistim persediaan perpetual atau periodik. Bagaimana
situasinya?
·
Penjualan paling banyak terjadi di waktu pagi—saat sebagian besar orang
buru-buru ke tempat kerja atau ke kampus, dan petang hari—saat sebagian besar
orang buru-buru pulang ke rumah setelah seharian bekerja.
·
Anda menjual berbagai macam barang mulai dari kertas tisu, permen,
koran/majalan, gantungan kunci, stationary, minuman dingin, kue kotak, dll
·
Anda hanya memiliki 2 orang pegawai yang untuk melayani pembeli di
waktu-waktu padat sudah terlihat kewalahan, sehingga sering anda sendiri yang
ikut membantu.
·
Di jam-jam padat, banyak pelanggan yang sampai harus mengantri untuk
membayar—sementara mereka hanya membeli barang-barang kecil yang sesungguhnya
bisa dibeli di toko mana saja.
Dalam kondisi operasional seperti ini,
apakah menerapkan sistim persediaan perpetual masuk akal? Jelas tidak.
Pegawai dan anda tidak akan sempat melakukan aktivitas administrative (termasuk
accounting) yang dperlukan untuk menerapkan sistim perpetual. Salah-salah,
pelanggan tidak jadi belanja—karena malas menunggu proses.
0 komentar:
Posting Komentar