Mengenai sistim akuntansi akrual vs sistim akuntansi berbasis kas, saya rasa sudah banyak dibahas di kampus, jadi tidak perlu dibahas lagi. Lagipula toh sebagian besar perusahaan sudah menggunakan sistim akrual. Melalui tulisan ini saya ingin membahas topik akrual yang sifatnya sedikit lebih praktikal, yaitu: “mengakrualkan biaya” atau “biaya diakrualkan.” Misalnya: Bonus Diakrualkan, Listrik Diakrualkan, dll. Bagaimana konsep akrual diterapkan? Mengapa perlu dilakukan? Biaya apa saja atau yang bagaimana yang bisa diakrualkan? Bagaimana Contoh Penerapannya?
Diantara banyaknya pekerjaan di wilayah akuntansi, salah satu yang paling sering dilakukan adalah mengakrualkan biaya tertentu. Bagi sebagian orang, urusan mengakrualkan biaya mungkin sudah menjadi aktivitas rutin—sehingga tidak ada kesulitan. Tapi bagi sebagian orang lainnya, mungkin sebaliknya.
Ada juga yang mengerti bagaimana caranya mengakrualkan suatu biaya—secara teknis, tetapi belum sungguh-sungguh paham konsep akrual, sehingga penerapannya dilakukan hanya berdasarkan apa yang dihafalkan saja (entah diperoleh dari masa kuliah atau apa yang pernah diberi tahu atasannya saat bekerja). Hasilnya? Penerapan akrual menjadi tidak konsisten (beberapa jenis transaksi yang mestinya diakrualkan tetapi tidak dilakukan).
Tak sedikit juga yang mengakrualkan biaya tetapi tidak dilakukan secara tuntas—entah karena pemahaman konsepnya yang kurang atau karena lalai semata. Contoh nyata: Dalam ledger klien yang baru saja saya tangani sejak bulan lalu, saya temukan saldo akun akrual numpuk hingga 18 bulan ke belakang. Setelah saya tanya mengapa, rupanya mereka tidak tahu kalau saldo di akun akrual hanya bersifat sementara. Artinya, pemahaman akrualnya juga masih ompong-ompong.
Di kelompok manapun seseorang berada, urusan akrual adalah bagian tak terpisahkan dari pekerjaan akuntasi. Itu artinya, setiap orang accounting mestinya, minimal, paham konsep dasar dan teknis akrual dengan baik. Melalui tulisan ini, saya ingin membahasnya, siapa tahu ada pembaca yang masih mengalami kesulitan di wilayah ini.
Bagimana Konsep Akrual Diterapkan dan Mengapa Perlu Dilakukan?
Dengan bahasa sederhana, mengakrualkan suatu biaya artinya: mengakui suatu biaya yang sudah atau pasti akan terjadi di satu sisinya, akan tetapi nilai nominalnya belum bisa diketahui secara pasti—sehingga sudah berupa kewajiban yang harus diakui namun belum bisa disebut utang, untuk sementara disebut “akrual” dan masuk ke kelompok kewajiban jangka pendek di Neraca. (Untuk definisi resmi, silahkan baca PSAK mengenai akuntansi akrual).
Misalnya: Mengakrualkan Biaya Bonus
Setiap pegawai tetap PT. JAK berhak atas bonus sebesar satu kali gaji pokok, yang dibagikan setiap akhir tahun. Berdasarkan kebijakan ini, maka pegawai accounting PT. JAK perlu MENGAKRUALKAN bonus setiap bulan sesuai porsinya. Mengapa? Mengapa biaya bonus perlu diakrualkan (tidak diakui sekaligus saja saat dibagikan di bulan Desember 2012)?
Ada 2 alasan utama mengapa suatu biaya perlu diakrualkan:
Alasan- 1. Mematuhi Prinsip Kesesuaian (matching principle) – Secara umum penerapan konsep akrual berangkat dari keinginan untuk mematuhi prinsip kesesuaian (the matching principle), yang mengamanatkan agar: setiap biaya yang diakui bisa dihubungkan dengan revenue (pendapatan) yang dihasilkan pada periode yang sama. “Bonus” misalnya, bisa saja diakui sekaligus pada saat dibayarkan, tetapi cara itu membuat biaya bonus menjadi tidak sesuai (tidak matching) dengan revenue yang sudah timbul (dan diakui) sejak bulan Januari hingga Desember. Idealnya, biaya bonus diakui setiap bulan secara proporsional dari Januari sampai dengan Desember—sehingga teralokasi ke revenue di masing-masing bulan, DENGAN CARA ‘DIAKRUALKAN.’
Alasan-2. Mematuhi Prinsip Kehati-hatian (conservatism principle) – Penerapan konsep akrual juga didorong oleh prinsip kehati-hatian, yang mengamanatkan agar: aktiva (asset) tidak lebih diakui (overstated) di satu sisinya, dan kewajiban (liability) tidak kurang diakui (understated) di sisi lainnya. Salah satu wujud dari penerapan prinsip kehati-hatian ini adalah dengan TIDAK BOLEH TERLAMBAT mengakui kewajiban (liability.) Sepanjang kemungkinan terjadinya hampir mendekati pasti, kewajiban sudah harus diakui meskipun nilai nominalnya belum diketahui secara pasti. “Bonus” misalnya, sudah pasti akan terjadi tahun ini, dan sesungguhnya sudah menjadi hak pegawai sejak Januari. Dengan kata lain, perusahaan sudah memiliki kewajiban sejak Januari. Tetapi karena angka pastinya belum diketahui, maka BELUM disebut sebagai “Utang Bonus”, melainkan disebut sebagai “BONUS DIAKRUALKAN” (accrued bonus).
Biaya Apa Saja Yang Diakrualkan dan Bagaimana Contoh Penerapannya?
Secara garis besar, segala bentuk biaya/beban yang sifatnya rutin dan dibayarkan sekaligus pada suatu bulan dalam setahun—sementara memberi manfaat untuk semua bulan di sepanjang tahun—MESTINYA DIAKRUALKAN, sehingga prinsip kesesuaian dan kehati-hatian selalu terjaga secara konsisten. Kecuali bila nilai nominalnya samasekali tidak bisa diperkirakan.
Untuk lebih konkretnya, berikut adalah beberapa contoh biaya yang lumrah diakrualkan (beserta contoh penerapan perlakuan akuntansinya).
1. Bonus Diakrualkan – Jika pemberian bonus kepada pegawai sudah menjadi program tetap, berarti pemberian bonus sudah pasti akan terjadi. Untuk itu perusahaan tidak perlu menunggu hingga bonus sepenuhnya menjadi hak pegawai baru diakui sebagai biaya dan kewajiban secara sekaligus menjelang dibagikan. Perusahaan sebaiknya mengakrualkan bonus tersebut setiap bulan sebesar porsinya, sepanjang nilai nominalnya bisa diestimasi.
Contoh Kasus Penerapan:
Jika memakai contoh sebelumnya, dimana setiap pegawai tetap PT. JAK berhak atas bonus sebesar satu kali gaji pokok yang dibagikan setiap akhir tahun, maka PT. JAK perlu mengakrualkan bonus tersebut sejak bulan Januari. Untuk melakukan hal itu, pegawai accounting PT. JAK bisa melihat data tahun sebelumnya sebagai bahan untuk membuat estimasi. Anggap bonus yang dibagikan di tahun 2011 sebesar Rp 250,000,000, maka untuk bonus 2012 bisa diestimasi sebesar yang sama—jika tidak ada perubahan jumlah pegawai tetap secara signifikan. Selanjutnya Rp 250,000,000 dibagi 12 bulan, hasilnya Rp 20,833,333. Inilah yang diakrual setiap bulannya (sejak awal tahun hingga menjelang bonus dibayarkan.) dengan jurnal:
[Debit]. Biaya Bonus = Rp 20,833,333
[Kredit]. Bonus Diakrualkan = Rp 20,833,333
[Kredit]. Bonus Diakrualkan = Rp 20,833,333
Catatan: “Bonus Diakrualkan” masuk kelompok kewajiban jangka pendek di Neraca.
Jika jurnal yang sama terus dimasukan setiap bulannya (sejak Januari hingga November), maka hingga menjelang penutupan buku bulan Desember akan nampak saldo “Bonus Diakrualkan” sebesar Rp 229,166,667 (=11 x 20,833,333) di Neraca, jika ditambah Rp 20,833,333 untuk alokasi bulan Desember, maka saldo akan menjadi 250,000,000, sama persis dengan perhitungan estimasi.
PADA KENYATAANNYA, bisa saja pihak HRD mengajukan permintaan bonus yang lebih besar atau lebih kecil dari angka tersebut.
Misal: Tanggal 27 Desember 2012, pihak HRD menyerahkan rincian perhitungan bonus dengan total Rp 270,000,000, sehingga estimasi lebih kecil Rp 20,000,000 jika dibandingkan dengan kenyataannya—yang disebabkan oleh adanya kenaikan gaji pokok pada beberapa pegawai. Nah, selisih tersebut dijurnal sekaligus di bulan Desember bersama-sama dengan alokasi untuk bulan Desember. Sehingga khusus di bulan Desember jurnalnya menjadi sbb:
[Debit]. Biaya Bonus = Rp 40,833,333
[Kredit]. Bonus Diakrualkan = Rp 40,833,333
[Kredit]. Bonus Diakrualkan = Rp 40,833,333
(Note: 40,833,333 = 20,833,333 + 20,000,000)
Setelah jurnal tersebut dimasukan, maka saldo “Bonus Diakrualkan” (pada kelompok kewajiban di Neraca) menjadi sama persis dengan permintaan bonus yang diajukan oleh HRD, denga rincian sbb:
Bonus Diakrualkan – Jan 2012 = Rp 20,833,333
Bonus Diakrualkan – Feb 2012 = Rp 20,833,333
Bonus Diakrualkan – Mar 2012 = Rp 20,833,333
Bonus Diakrualkan – Apr 2012 = Rp 20,833,333
Bonus Diakrualkan – May 2012 = Rp 20,833,333
Bonus Diakrualkan – June 2012 = Rp 20,833,333
Bonus Diakrualkan – July 2012 = Rp 20,833,333
Bonus Diakrualkan – Aug 2012 = Rp 20,833,333
Bonus Diakrualkan – Sep 2012 = Rp 20,833,333
Bonus Diakrualkan – Oct 2012 = Rp 20,833,333
Bonus Diakrualkan – Nov 2012 = Rp 20,833,333
Bonus Diakrualkan – Des 2012 = Rp 40,833,333
Total Bonus Diakrualkan 2012 = Rp 270,000,000
Bonus Diakrualkan – Feb 2012 = Rp 20,833,333
Bonus Diakrualkan – Mar 2012 = Rp 20,833,333
Bonus Diakrualkan – Apr 2012 = Rp 20,833,333
Bonus Diakrualkan – May 2012 = Rp 20,833,333
Bonus Diakrualkan – June 2012 = Rp 20,833,333
Bonus Diakrualkan – July 2012 = Rp 20,833,333
Bonus Diakrualkan – Aug 2012 = Rp 20,833,333
Bonus Diakrualkan – Sep 2012 = Rp 20,833,333
Bonus Diakrualkan – Oct 2012 = Rp 20,833,333
Bonus Diakrualkan – Nov 2012 = Rp 20,833,333
Bonus Diakrualkan – Des 2012 = Rp 40,833,333
Total Bonus Diakrualkan 2012 = Rp 270,000,000
PENTING:
Karena total nilai nominal bonus sudah dikatahui dan harus sudah segera dibayarkan, maka saldo “Bonus Diakrualkan” sudah bisa diakui sebagai “Utang Bonus.” Caranya?
Dibuatkan jurnal pembalik sbb:
[Debit]. Bonus Diakrualkan = Rp 270,000,000
[Kredit]. Utang Bonus = Rp 270,000,000
[Kredit]. Utang Bonus = Rp 270,000,000
Dengan jurnal pembalik ini, maka saldo akun ‘Bonus Diakrualkan” menjadi nol, dan muncul saldo akun “Utang Bonus” sebesar Rp 270,000,000, saat menjelang pembayaran bonus.
Katakanlah bonus dibayarkan tanggal 31 Desember 2012, atas pembayaran ini dicatat denga jurnal:
[Debit]. Utang Bonus = Rp 270,000,000
[Kredit]. Kas = Rp 270,000,000
[Kredit]. Kas = Rp 270,000,000
“Bagimana kalau tanggl 27 Desember pihak HRD mengajukan permintaan bonus lebih kecil dari estimasi (hanya Rp 230,000,000 misalnya)?” mungkin ada yang berpikir demikian.
Yups. Kemungkinan itu sangat besar. Artinya total bonus 2012 lebih kecil dibandingkan dengan 2011. Ini biasanya terjadi bila ada pegawai yang berhenti (mengundurkan diri atau di PHK) sebelum masa pembagian bonus tiba. Jika demikian keadaannya, mestinya saat pemberian gaji terakhir (saat berhenti), bonusnya langsung diperhitungkan oleh pihak HRD.
Misalnya (updated: April-13 @23:20 PM): Sdr. Bojes Adiwijaya pegawai tetap bagian Riset dan Pengembangan, dengan gaji pokok sebesar Rp 2,000,000, mengundurkan diri per 30 September 2012. Saat pembayaran gaji terakhir, bersama hak-hak lainnya, bonus yang berhak diterima (earned) oleh Sdr Bojes sejak Januari s/d September juga dibayarkan sebesar(2,000,000/12) x 9 = Rp 1,500,000. Sebelum hak bonus tersebut dibayarkan, porsi “Bonus Diakrualkan” untuk Sdr. Bojes harus dipindahkan ke “Utang Bonus” terlebih dahulu, dengan jurnal:
[Debit]. Bonus Diakrualkan = Rp 1,500,000
[Debit]. Utang Bonus = Rp 1,500,000
[Debit]. Utang Bonus = Rp 1,500,000
Dan saat di bayar, utang bonus dihapuskan dengan jurnal:
[Debit]. Utang Bonus = Rp 1,500,000
[Kredit]. Kas = Rp 1,500,000
[Kredit]. Kas = Rp 1,500,000
Hal serupa dilakukan setiap kali ada pegawai mengundurkan diri atau diberhentikan di tengah jalan (sebelum tahun berakhir). Jika semuanya diperhitungkan dengan benar, maka total saldo “Bonus Diakrualkan” menjelang akhir tahun, mestinya, akan berkurang sebesar yang sama (kecuali jika ada alasan selain pengunduran diri atau di PHK)
“Oke. Bagaimana kalau selisih lebih kecil tersebut tidak disebabkan oleh adanya pengunduran diri pegawai? Entah bagaimana, pokoknya HRD mengajukan permintaan bonus yang lebih kecil dari estimasi semula (misal: Rp 230,000,000)” mungkin ada yang bertanya lagi.
Hahaha… nekat bener ini pertanyaan. Tapi itu memang bisa terjadi. Kalau memang demikian, berarti ada selisih lebih Rp 20,000,000. Selisih ini dijadikan pengurang untuk alokasi “bonus diakrualkan” di bulan Desember. Sehingga untuk Desember jurnalnya menjadi:
[Debit]. Biaya Bonus = Rp 833,333
[Kredit]. Bonus Diakrualkan = Rp 833,333
[Kredit]. Bonus Diakrualkan = Rp 833,333
(Note: 833,333 = Alokasi Desember – Selisih = 20,833,333 – 20,000,000).
Dengan demikian maka total saldo akun “Bonus Diakrualkan” sejak Januari s/d Desember menjadi Rp 230,000,000 saja, persis seperti yang diminta oleh pihak HRD. Selanjutnya dipindahkan ke akun “Utang Bonus” sebelum bonus dibayarkan, dengan jurnal seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya.
2. Bonus/Komisi Penjualan Diakrualkan – Banyak perusahaan yang memberikan bonus/komisi untuk pegawai sales-nya di akhir tahun. Jika ini sudah pasti akan terjadi, tetapi total nominalnya belum diketahui secara persis, perusahaan juga perlu mengakrualkan biaya bonus/komisi ini, sepanjang nilai nominalnya bisa diestimasi. Yang paling lumrah digunakan sebagai nilai estimasi adalah data tahun sebelumnya. Paling aman, menurut saya: lihat data sampai beberapa tahun buku sebelumnya, cari nilai total pembayaran yang paling tinggi. Gunakan itu sebagai nilai estimasi. Bisa jadi komisi/bonus yang diberikan mengandung sayarat tertentu, misalnya: komisi/bonus dibatalkan jika ada penjualan yang batal. Nah ini juga diperhitungkan (jadikan pengurang estimasi) dengan melihat data periode-periode sebelumnya. Mengenai prosedur jurnalnya sama saja. Kecuali nama akunnya yang disesuaikan, menjadi “Biaya Komisi/Bonus Penjualan” dan “Komisi/Bonus Penjualan Diakrualkan”.
3. Cuti Diakrualkan – Ada perusahaan yang menyediakan penggantian berupa uang untuk setiap hak cuti yang tidak diambil yang terus diakumulasikan dari tahun-ke-tahun. Ini juga perlu diakrualkan, dengan menggunakan estimasi dari data hak cuti yang ditebus dengan uang di periode-periode sebelumnya. Prosedur penjurnalannya juga sama dengan yang sebelumnya, kecuali nama akunnya yang disesuaikan.
4. Royalti Diakrualkan – Tidak sedikit perusahaan yang menggunakan royalti yang dimiliki oleh pihak lain (entah itu perusahaan atau perorangan/designer misalnya). Jika pembayaran royalti kepada pihak sudah rutin terjadi dan masih akan terus terjadi, maka biaya royalti juga perlu diakrualkan dengan menggunakan estimasi yang sama. Prosedur penjurnalannya juga sama, kecuali nama akunnya yang disesuaikan.
5. Pajak Bumi dan Bangunan Diakrualkan – Biasanya pihak perusahaan membayar pajak bumi dan bangunan sekali dalam setahun dengan nilai nominal yang flutuasinya relatif setabil. Ini juga perlu diakrualkan setiap bulannya sehingga biaya pajak bumi dan bangunan teralokasi secara proporsional dari bulan ke bulan (tidak terjadi sekaligus di bulan tertentu). Prosedur penjurnalannya juga sama, kecuali nama akunnya yang disesuaikan.
Mengakrualkan Biaya Untuk Mempercepat Proses Tutup Buku
Seperti sudah saya sampaikan sebelumnya, alasan utama mengapa suatu biaya perlu diakrualkan ada 2 yaitu: (a) untuk mematuhi prinsip kesesuaian (matching principle)—yang dicapai dengan mengalokasikan biaya secara proporsional setiap bulannya; dan (b) mematuhi prinsip kehati-hatian (conservatism principle)—yang dicapai dengan pengakuan “akrual.”
Disamping alasan utama tersebut, ada juga alasan khusus mengapa suatu biaya biasanya diakrualkan untuk sementara, yaitu: untuk mempercepat proses tutup buku.
Pada saat proses tutup buku, ada saja biaya—yang mestinya sudah harus dibebankan, dan kewajiban—yang mestinya sudah harus diakui, BELUM BISA DIKETAHUI, karena alasan tertentu. Misalnya:
Biaya listrik, tidak lumrah untuk diakrualkan. Tetapi seringkali proses tutup buku menjadi terhambat karena harus menunggu hingga nilai tagihan listrik diketahui dari PLN yang biasanya baru keluar setelah tanggal 5 bulan berikutnya. Supaya proses tutup buku tidak terhambat, maka “Biaya Listrik” untuk sementara diakui dengan menggunakan nilai estimasi dari pembayaran listrik bulan sebelumnya, sedangkan di sisi kewajiban diakui “Listrik Diakrualkan” dengan jurnal:
[Debit]. Biaya Listrik = Rp 20,000,000 (pakai estimasi bulan sebelumnya)
[Kredit]. Listrik Diakrualkan = Rp 20,000,000
[Kredit]. Listrik Diakrualkan = Rp 20,000,000
(Note: Biaya listrik masuk Laba/Rugi, dan Listrik Diakrualkan masuk ke kelompok Kewajiban di Neraca).
Setelah tagihan listrik keluar (nilai pastinya sudah diketahui), akun “Listrik Diakrualkan” dibuatkan jurnal pembalik sehingga saldonya menjadi nol. Jika ada selisih antara biaya listrik (yang dihitung menggunakan estimasi) dengan total tagihan listrik, maka selisih tersebut dibuatkan jurnal penyesuaian.
Misalnya: dari estimasi 20,000,000, ternyata tagihannya Rp 25,000,000. Maka dibuatkan jurnal:
[Debit]. Listrik Diakrualkan = Rp 20,000,000
[Debit]. Laba Ditahan = Rp 5,000,000
[Kredit]. Utang – PLN = Rp 25,000,000
[Debit]. Laba Ditahan = Rp 5,000,000
[Kredit]. Utang – PLN = Rp 25,000,000
(Note: Laba Ditahan di sisi debit, untuk koreksi biaya listrik yang kurang dibebankan—akibat Laba/Rugi sudah ditutup.
Saat pembayaran listrik dilakukan dijurnal:
[Debit]. Utang – PLN = 25,000,000
[Kredit]. Kas = Rp 25,000,000
[Kredit]. Kas = Rp 25,000,000
Jika kenyataan tagihan lebih kecil dari estimasi (misalnya hanya Rp 15,000,000), maka jurnalnya menjadi:
[Debit]. Listrik Diakrualkan = 20,000,000
[Kredit]. Laba Ditahan = Rp 5,000,000
[Kredit]. Utang – PLN = Rp 15,000,000
[Kredit]. Laba Ditahan = Rp 5,000,000
[Kredit]. Utang – PLN = Rp 15,000,000
(Note: Laba ditahan di sisi kredit, untuk koreksi atas biaya listrik yang dibebankan terlalu besar/overstated)
Saat listrik dibayar, jurnalnya:
[Debit]. Utang – PLN = Rp 15,000,000
[Kredit]. Kas = Rp 15,000,000
[Kredit]. Kas = Rp 15,000,000
Biaya-biaya lain, misalnya: telepon, air, apapun itu, bisa diperlakukan dengan cara yang sama untuk mempercepat proses tutup buku. HANYA SAJA, perlu disadari bahwa pangakrualan seperti ini mengandung risiko.
Apa risikonya?
- Harus menjurnal beberapa kali untuk satu jenis transkasi, yang jika tidak diakrualkan tentu hanya perlu menginput jurnal satu kali saja.
- Untuk sementara, angka biaya menjadi tidak akurat—karena menggunakan estimasi.
Untuk itu diperlukan pertimbangan yang baik, terutama sekali mengenai pengakuan biaya yang belum akurat. Setiap kali anda ingin mengakrualkan suatu biaya, sesungguhnya anda sedang dihadapkan pada pilihan antara KUALITAS Laporan Keuangan (yang akurat) dengan KETEPATWAKTUAN pelaporan. Pikirkan baik-baik, mana yang lebih penting—prioritas—bagi anda dan perusahaan? Jika perlu, bicarakan dengan pihak manjemen terlebih dahulu, buat kebijakan (policy) yang khusus mengatur hal ini, agar pihak manajemen menyadari risiko yang mungkin timbul, sehingga tidak perlu mempertanyakannya di kemudian hari.
0 komentar:
Posting Komentar