Saya yakin sebagian besar pembaca, termasuk anda, pasti sudah pernah melihat format Neraca (yang sekarang disebut ‘Laporan Posisi Keuangan’). Yang kerap meragukan adalah bentuknya yang bervariasi—ada yang sangat ringkas nan pendek, ada juga yang begitu detail mencantumkan akun-demi-akun sehingga mirip rangkaian gerbong kereta api Argo Bromo Surabaya – Jakarta. Ada yang beralur horizontal (ke samping), ada juga yang alurnya vertical (menurun), mengikuti panjang halaman kertas.
[quote]Dengan tulisan ini, saya berharap pembaca mendapat gambaran yang jelas (kalau bisa pasti) mengenai format Neraca (Laporan Posisi Keuangan). SEKALIGUS bisa melihat AKUN APA masuk ke kelompok APA.[/quote]
Standar Akuntansi manapun (termasuk PSAK yang baru) TIDAK pernah menyatakan suatu format Neraca tertentu sebagai standar yang harus digunakan oleh semua akuntan dalam menyusun laporan keuangan. Pun demikian, ada hal-hal penting yang ditekankan dalam PSAK, sehubungan dengan penyajian laporan keuangan, yang akan saya ikut sertakan juga (dalam tulisan ini).
Tetapi sebelum itu, ada hal penting yang tak kalah pentingnya untuk diketahui, sehubungan dengan neraca, yaitu: kelemahan informasi keuangan yang diperoleh dari sebuah Neraca (maaf, saya masih sering menggunakan kata Neraca.)
Kelemahan Neraca (Di Masa Lalu) Sebagai Penyaji Laporan Posisi Keuangan
Sebenarnya, sudah sejak lama, nama lainnya “Neraca” (Balance Sheet) adalah “Laporan Posisi Keuangan”, tetapi entah mengapa publik (termasuk pengatur standar) lebih suka menggunakan istilah “Neraca”. Bisa jadi karena lebih mudah disebutkan (singkat) dan tidak membingungkan ketika bersandingan dengan istilah “Laporan Keuangan”—yang terdiri dari: Neraca, Laporan Laba/Rugi, Laporan Perubahan Modal, dan Laporan Arus Kas.
Nah, apa kelemahan Neraca sebagai penyaji laporan posisi keuangan? Kelemahannya yang paling mencolok adalah: tidak mewakili nilai aset dan liabilitas yang sesungguhnya, pada saat dilaporkan.
Mengapa demikian? Karena nilai aset (aktiva) dan liabilitas (kewajiban) yang digunakan dalam Neraca (di masa lalu) menggunakan pendekatan cost histories (historical cost approach).
Dengan kata lain, di masa lalu, nilai yang dicantumkan dalam Neraca adalah nilai aset dan liabilitas pada saat transaksi terjadi, sedangkan pelaporan baru dilakukan di akhir tahun. Nah, selama kurun waktu antara transaksi dan pelaporan, jika terjadi kenaikan atau penurunan nilai pasar, TIDAK diperhitungkan. Terutama aset tidak lancar, termasuk Goodwil dan aset tak berwujud lainnya.
Misalnya:
Di tahun tahun 2010, PT. JAK membeli bangunan tempat usaha seharga Rp 2 milyar, lalu disusutkan selama 15 tahun dengan menggunakan metode garis lurus, tanpa nilai sisa (no residual value). Di Neraca PT. JAK per 2012, maka nilai buku bangunan tersebut menjadi (perhitungan saya sederhanakan):
= Nilai Perolehan – Akumulasi penyusutan
= Rp 2 milyar – [2 x (Rp 2 milyar/15)
= Rp 2 milyar – [2 x Rp 133,333,333)
= Rp 2 milyar – 266,666,667
= Rp 1,733.333,333
= Rp 2 milyar – [2 x (Rp 2 milyar/15)
= Rp 2 milyar – [2 x Rp 133,333,333)
= Rp 2 milyar – 266,666,667
= Rp 1,733.333,333
Nilai Rp 1,733.333,333 itulah yang terlihat di Neraca sebagai nilai aset bangunan, meskipun pada kenyataannya harga bangunan naik (Note: ada kecenderungan harga bangunan selalu naik). Itu artinya, nilai aset bangunan yg di Neraca lebih rendah dari kenyataannya.
Sebaliknya, aset mesin, peralatan dan kendaraan, pada kenyataannya cenderung menurun lebih cepat jika dibandingkan dengan penyusutan yang dibebankan tiap periodenya—sehingga nilai aset jenis ini, pada Neraca cenderung lebih besar dibandingkan kenyataannya (bila dijual misalnya).
Kenyataan-kenyataan itu membuat investor (baik yang sudah berstatus pemegang saham maupun calon pembeli saham)merasa bahwa:
[quote]Neraca (di masa lalu) belum menyajikan posisi keuangan (nilai aset, liabilitas dan ekuitas pemilik) yang sesuai dengan kondisi sebenarnya.[/quote]
Regulator (IASB untuk IFRS dan FASB untuk GAAP) merespon keluhan tersebut dengan membuat perombakan standar akuntansi yang nantinya bisa membuat Neraca mampu menyajikan laporan posisi keuangan yang lebih representative. Bersama dengan perlakuan-perlakuan akuntansi yg lain (selain aset dan liabilitas), IASB mengeluarkan IFRS (yang sekarang telah diimplementasikan sepenuhnya dalam PSAK yang baru).
Perubahan standar akuntansi yang paling mencolok, sehubungan dengan hal ini, adalah: penentuan nilai aset—terutama aset tak lancar (aktiva tetap) termasuk goodwill dan aset tak berwujud lainnya. Jika dahulu menggunakan “nilai perolehan”(historical cost) (seperti kasus aset bangunan di atas), kini IFRS telah menggunakan “nilai wajar” (Fair value) (nilai wajar) sebagai acuan.
Penerapan nilai wajar (fair value), oleh IFRS, diwujudkan dengan cara: mewajibkan perusahaan (terutama yang berstatus publik) untuk melakukan revaluasi berkala terhadap aset tak lancar mereka. Hasil revaluasi bisa jadi lebih kecil atau lebih besar jika dibandingkan dengan nilai buku di Neraca:
- Jika hasil revaluasi (nilai terpulihkan/recoverable amount) lebih kecil dari nilai buku (carrying amount), maka dibuatkan jurnal koreksi “rugi revaluasi.”
- Jika sebaliknya, dibuatkan jurnal koteksi “Laba revaluasi’.
Note: Khusus Goodwill, menggunakan impairment (penurunan nilai) sebagai pendekatan untuk menentukan nilai wajar.
Dengan penggunaan nilai wajar (fair value), diharapkan nilai aset tak lancar perusahaan yang tersaji di Neraca menjadi lebih representative. HANYA SAJA, masih banyak wilayah lain (selain aset tak lancar) yang belum mewakili nilai yang sebenarnya.Misalnya: Nilai persediaan.
Oke ada banyak metode penentuan nilai persediaan yang diijinkan (kecuali LIFO), yang sedikit-banyaknya bisa membuat nilai inflasi tercover. Tetapi sampai saat ini belum boleh mengakui nilai persediaan sesuai dengan harga pasar—tetap menggunakan historical cost (cost yang timbul saat barang dibuat). Kecuali untuk barang kembali—entah itu karena cacat (ringan, sedang, berat) atau karena tak laku dijual, melalui IAS 17 telah ditentukan agar barang yang kembali direvaluasi.
Pada dasarnya, IFRS mencoba untuk membuat semua elemen aset dan liabilitas menggunakan nilai wajar (fair value). Tetapi pada prakteknya, khususnya untuk instrument-instrumen investasi dan derivative bank, masih menjadi pro-dan-kontra. Sehingga meskipun sudah ditetapkan, kalangan bank masih enggan mengikuti standar yang baru (IFRS).
Pertanyaan selanjutnya: Sampai kapan kelemahan Neraca (Laporan Posisi Keuangan) ini bisa diperbaiki?
Entahlah, sampai saat ini belum bisa diperbaiki sepenuhnya. Semoga saja suatu saat nanti ditemukan pendekatan yang lebih pas (dan bisa diterima oleh semua pihak).
Kita lanjut ke Penyajian “Laporan Posisi Keuangan”…
Penyajian Laporan Posisi Keuangan Sesuai PSAK Baru (Konvergen IFRS)
Seperti sudah saya singgung di awal tulisan, tidak ada ketentuan pasti mengenai “Format Laporan Posisi Keuangan (Neraca)” di dalam standar Akuntansi manapun. Bukan hanya di PSAK atau IFRS yang berlaku di Indonesia, di US-GAAP yang direformasipun tidak ada.
Yang ada adalah beberapa ketentuan dasar—yang (mungkin) diharapkan bisa menjamin isi Neraca menjadi tidak bias atau menyesatkan pembacanya, logis dan mudah dipahami. Sedangkan format pastinya, diserahkan ke perusahaan, sepanjang ketentuan-ketentuan dasar tersebut dipatuhi.
Apa saja ketentuan-ketentuan dasar penyajian Laporan Posisi Keuangan sesuai PSAK baru?
Berikut adalah kutipan beberapa bagian PSAK 1 yang penting-penting saja (untuk detailnya silahkan baca PSAK).
Dalam sebuah Laporan Keuangan (dan Penjelelasan Rinci-nya), perusahaan diminta untuk menyajikan informasi ini secara jelas (paragraph 49):
- Nama entitas pembuat laporan keuangan atau identitas lain, dan setiap perubahan informasi dari akhir periode laporan sebelumnya;
- Apakah merupakan laporan keuangan satu entitas atau suatu kelompok entitas;
- Tanggal akhir periode pelaporan atau periode yang dicakup oleh laporan keuangan atau catatan atas laporan keuangan;
- Mata uang pelaporan sebagaimana didefinisikan dalam PSAK 52; dan
- Pembulatan yang digunakan dalam penyajian jumlah dalam laporan keuangan
Mengenai pos-pos (akun-akun) yang disajikan dalam Laporan Posisi Keuangan (Neraca), paragraph 52 menyebutkan agar “minimal mencakup penyajian jumlah pos-pos berikut” (jika ada):
- Aset tetap;
- Properti investasi;
- Aset tidak berwujud;
- Aset keuangan (tidak termasuk jumlah yang disajikan pada (e), (h) dan (i));
- Investasi dengan menggunakan metode ekuitas;
- Aset biolojik;
- Persediaan;
- Piutang dagang dan piutang lainnya;
- Kas dan setara kas;
- Total aset yang diklasifikasikan sebagai aset yang dimiliki untuk dijual dan aset yang termasuk dalam kelompok lepasan yang diklasifikasikan sebagai yang dimiliki untuk dijual sesuai dengan PSAK 58;
- Utang dagang dan terutang lainnya;
- Kewajiban diestimasi;
- Liabilitas keuangan (tidak termasuk jumlah yang disajikan dalam (k) dan (l));
- Liabilitas dan aset untuk pajak kini sebagaimana didefinisikan dalam PSAK 46;
- Liabilitas dan aset pajak tangguhan, sebagaimana didefinisikan dalam PSAK 46;
- Liabilitas yang termasuk dalam kelompok yang dilepaskan yang diklasifikasikan sebagai yang dimiliki untuk dijual sesuai dengan PSAK 58;
- Kepentingan non-pengendali, disajikan sebagai bagian dari ekuitas; dan
- Modal saham dan cadangan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk.
Pos-pos tambahan, judul dan subtotal dalam laporan posisi keuangan BOLEH DISAJIKAN, jika penyajian tersebut relevan untuk pemahaman posisi keuangan perusahaan.
Pengklasifikasian “aset lancar dan tidak lancar” dan “liabilitas jangka pendek dan jangka panjang” juga DIBOLEHKAN, akan tetapi “Pajak Tangguhan” TIDAK BOLEH diklasifikasikan sebagai “aset lancar” atau “liabilitas jangka pendek”.
Lebih jauh mengenai “Aset Lancar dan Tak lancar” dan “Liabilitas Jangka Pendek dan Jangka Panjang”, PSAK 1 paragraph 64 dan 67 memberikan panduan khusus sebagai berikut:
1. Aset Lancar dan Tak Lancar – Perusahaan mengklasifikasikan aset sebagai aset lancar, jika:
- Entitas mengharapkan akan merealisasikan aset, atau bermaksud untuk menjual atau menggunakannya, dalam siklus operasi normal;
- Entitas memiliki aset untuk tujuan diperdagangkan;
- Entitas mengharapkan akan merealisasi aset dalam jangka waktu 12 bulan setelah periode pelaporan; atau
- Kas atau setara kas (seperti yang dinyatakan dalam PSAK 2: Laporan Arus Kas) kecuali aset tersebut dibatasi pertukarannya atau penggunaannya untuk menyelesaikan laibilitas sekurang-kurangnya 12 bulan setelah periode pelaporan.
Note: Aset yang TIDAK masuk kategori di atas diklasifikasikan sebagai “Aset Tidak Lancar”
2. Liabilitas Jangka Pendek dan Jangka Panjang – Suatu liabilitas diklasifikasikan sebagai laibilitas jangka pendek jika:
- Entitas mengharapkan akan menyelesaikan liabilitas tersebut dalam siklus operasi normalnya;
- Entitas memiliki liabilitas tersebut untuk tujuan diperdagangkan;
- Liabilitas tersebut jatuh tempo untuk diselesaikan dalam jangka waktu 12 bulan setelah periode pelaporan; atau
- Entitas tidak memiliki hak tanpa syarat untuk menunda penyelesaian liabilitas selama sekurangkurangnya 12 bulan setelah periode pelaporan.
Note: Liabilitas yang TIDAK masuk kategori di atas diklasifikasikan sebagai “Liabilitas Jangka Panjang”.
Itu saja point-point yang yang penting. Sekalilagi, untul lebih jelasnya silahkan baca PSAK 1.
Contoh Format “Laporan Posisi Keuangan” alias “Neraca”
Bisa dikatakan bahwa, tidak ada format Laporan Posisi Keuangan (Neraca) standar yang dikeluarkan oleh badan pengatur standar akuntansi manapaun. Adapun format yang selama ini lumrah dipakai, baik oleh perusahaan yang sudah berstatus publik maupun yang belum, adalah tradisi, kebiasaan yang lama-lama menjadi semacam kesepakatan tak tertulis antara para pembuat dan pengguna laporan keuangan.
Penyajian yang paling lumrah digunakan adalah format bersaldo seimbang (seperti yang saya gunakan dalam contoh dibawah). Dalam format ini, masing-masing elemen (aset, liabilitas dan ekuitas pemegang saham) disertai jumlah saldo saat pelaporan, di tempatkan di satu halaman, sehingga pembaca laporan posisi keungan bisa melihat bahwa: aset = liabilitas + ekuitas pemegang saham.
Wujud atau bentuk Laporan Posisi Keuangan (Neraca) itu sendiri, ada 2 macam yang lumrah digunakan, yaitu:
- Bentuk yang menyerupai T-Account: Kelompok “Aset” diletakkan di sisi kiri, sementara kelompok “Liabilitas dan Ekuitas Pemegang Saham” di sisi kanan laporan.
- Bentuk yang menyerupai Ledger (Buku Besar): Kelompok “Aset” diletakan di bagian atas laporan, diikuti oleh kelompok “Liabilitas dan Ekuitas Pemegang Saham” di bawahnya.
Dalam contoh berikut ini, saya hanya menggunakan bentuk yang kedua, dalam dua versi: ringkas dan detail.
Ini adalah contoh format Laporan Posisi Keuangan (Neraca) yang ringkas:
Dan, ini adalah contoh format Laporan Posisi Keuangan (Neraca) yang agak detail:
Karena keterbatasan ruang, penjelasan dari masing-masing akun dalam format Laporan Posisi Keuangan (Neraca) ini akan saya bahas di tulisan berikutnya. Untuk sementara saya ucapkan selamat berlibur bagi yang libur, dan selamat beraktivitas untuk yang tidak libur.
0 komentar:
Posting Komentar