Sejak masih ‘unyu-unyu’ di bangku kuliah hingga jadi ‘auditor -bangkotan’ kita, sebagai orang akuntansi, sudah sangat sering mendengar istilah “prinsip akuntansi,” lalu “asumsi akuntansi,” serta “konstrain-akuntansi.” Saking seringnya, lama-lama sampai tidak tahu lagi mana prinsip, mana asumsi dan mana konstrain—semuanya campur-aduk, tidak jelas. Sementara itu, memilah-milah mana prinsip, mana asumsi dan mana konstrain sangatlah vital dalam membangun pemahaman mengenai akuntansi.
“Ah… saya sudah bekerja, ngapain ingat-ingat itu lagi? Biarin mahasiswa saja yang hafalin itu untuk persiapan UAS,” mungkin ada yang berpikir seperti itu, terutama kawan-kawan yang sudah merasa senior.
Ya ya ya… memang, di tempat kerja atasan mungkin tidak pernah menyakan tentang prinsip, asumsi dan konstrain akuntansi. Akan tetapi, disadari-atau-tidak, nyaris semua yang kita terapkan dalam pekerjaan akuntansi sehari-hari (baik itu dalam perusahaan maupun di kantor akuntan publik) memerlukan judgment—penilaian—untuk melakukan pengakuan dan pelaporanyang menggunakan prinsip, asumsi dan konstrain sebagai patokan utama. Tidak percaya?
Misalnya:
- Pembayaran sewa sebesar Rp 50 juta untuk satu tahun tidak kita akui sebagai biaya sewa secara sekaligus, melainkan diakui sebagai “biaya sewa dibayar dimuka” terlebih dahulu, baru kemudian dialokasikan sebagai “biaya sewa” setiap bulannya. Mengapa? Karena akuntansi berprinsip bahwa: setiap biaya yang timbul mesti bisa dihubungkan dengan revenue yang timbul di periode yang sama (matching principle.)
- Pada perusahaan peseroran terbatas (PT), jika direktur menggunakan uang perusahaan untuk keperluan pribadinya, kita akui sebagai ‘Piutang’—meskipun misalnya direktur kebetulan adalah pemilik usaha. Mengapa? Karena akutansi mengasumsikan bahwa: perusahan adalah entitas tersendiri, terpisah dari diri pribadi pemiliknya (entity assumption.)
- Sebagian piutang, belum apa-apa sudah membuat “cadangan piutang tak tertagih” (bad debt)—padahal belum tentu terjadi, sementara mengapa tidak ada istilah “cadangan utang yang tak mampu dibayar”? Karena akuntansi memandatkan bahwa: kekayaan (asset) tidak boleh diakui lebih tinggi dari kenyataannya, sementara kewajiban tidak boleh diakui lebih rendah dibandingkan kenyataannya (conservatism constraint).
Dan lain sebagainya. Intinya, setiap perlakuan akuntansi selalu berpegang entah pada suatu prinsip, asumsi atau konstrain. Sebagian besar standar akuntansi—FASB-nya Amerika Serikat, IAS, IFRS—selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip, asumsi-asumsi dan teori konstrain yang mereka sebut dengan istilah “conceptual framework of the financial reporting.” Apalagi PSAK di Indonesia yang nota-benanya ‘nunut’ entah itu ke IASB atau FASB, sudah pasti menggunakan prinsip-prinsip, asumsi-asumsi serta teori-teori konstrain yang sama.
Siapapun yang ingin belajar akuntansi dengan benar, perlu untuk memahami prinsip, asumsi dan konstrain akuntansi tersebut. Bisa dibilang, ini pondasinya akuntansi. Sejauh ini JAK belum pernah bahas hal ini. Lewat tulisan ini saya ingin mengajak pembaca untuk mengingat kembali asumsi-asumsi, prinsip-prinsip dan kontrain-kontrain yang dianut oleh akuntansi, sebelum benar-benar lupa.
Asumsi-asumsi Yang Digunakan Dalam Akuntansi
1. Entitas Akuntansi – Suatu perusahaan diasumsikan sebagai suatu ‘sosok” yang dalam dunia akuntansi disebut dengan “entitas,” yang mandiri—terlepas dari diri pribadi pemiliknya. Dengan kata kata lain, secara virtual, suatu entitas usaha memiliki karakteristik sebagaimana layaknya sesosok individu:
- Memiliki nama
- Memiliki hari ulang tahun (tanggal pendirian)
- Melakukan aktivitas (operasional) It is engaged in clearly defined activities.
- Melakukan pemeriksaan dan melaporkan kondisi kesehatan (via laporan keuangan)
- Memiliki hak dan kewajiban hukum
- Membayar pajak
Mengapa akuntansi menggunakan asumsi entitas?
- Melahirkan konteks. Asumsi entitas memberikan kemudahan bagi pihak-pihak yang berkepentingan—saat membaca laporan keuangan suatu perusahaan, pembaca jadi tahu laporan keuangan siapa (perusahaan mana) yang sedang mereka baca sehingga mereka bisa menempatkan dalam ‘konteks’ apa laporan keuangan tersebut ada.
- Menimbulkan pemahaman mengenai batas kepemilikan. Asumsi yang memandang suatu usaha sebagai entitas tersendiri (terlepas dari pemiliknya) menimbulkan pemahaman mengenai batas kepemilikan dalam suatu usaha—dimana para pemiliknya sekarang menjadi tahu bahwa hak dan kewajiban mereka hanya sebatas modal yang mereka setorkan.
2. Going Concern – Akuntansi mengasumsikan bahwa suatu usaha didirikan untuk beroperasi dalam jangka waktu yang lama. Asumsi ini membuat asset perusahaan dibeli tidak untuk dijual—melainkan untuk terus digunakan sepanjang usia perusahaan. Sekaligus, khususnya bagi perusahaan yang sudah berstatus go-public, asumsi ini membuat para calon invetor memiliki pandangan yang pasti bahwa setiap invetasi yang mereka tanamkan di suatu perusahaan akan terus dijaga untuk waktu yang lama.
Catatan: Belakangan ini, asumsi “going concern” ini malah wajib diaudit—untuk memastikan bahwa perusahaan memang memiliki kemampuan yang cukup untuk terus menjalankan opersional mereka saat ini dan masa-masa yang akan datang.
3. Pengukuran dan Satuan ukur - Akuntansi mengasumsikan bahwa yang harus dilaporkan hanya hal-hal yang sifatnya bisa diukur (dikuantitativekan). Tidak menampilkan hal-hal yang tidak bisa diukur. Karena hanya melaporkan hal-hal yang bisa diukur saja, maka laporan disajikan dalam satuan mata uang wilayah yurisdiksi di mana perusahaan berada. Di Indonesia misalnya, laporan keuangan disajikan dalam satuan mata uang Rupiah.
4. Periodisitas – Untuk memudahkan, hidup perusahaan yang diasumsikan berlangsung lama selanjutnya diasumsikan dapat diukur dalam satuan “periode waktu tertentu”—dimana laporan keuangan dibuat dan dilaporkan. Untuk perpajakan kita diindonesia menganut sistim periodisasi laporan tahunan—meskipun di masing-masing perusahaan mungkin menggunakan periodisasi laporan komersial secara bulanan atau kuartalan.
Prinsip-Prinsip Yang Dianut Oleh Akuntansi
Disamping menggunakan asumsi-asumsi, akuntansi juga menganut prinsip-prinsip tertentu, antara lain:
1. Cost Historis – Akuntansi berprinsip bahwa nilai asset suatu perusahaan dilaporkan sebesar nilai historisnya—dalam hal ini adalah harga perolehannya. Misalnya: perusahaan, 5 tahun yang lalu, membeli sebidang tanah (tempat usaha) Rp 2 milyar di daerah Kelapa Gading. Sampai kapanpun tanah tempat usaha ini nilainya tetap hanya sebesar Rp 2 milyar—meskipun saat ini mungkin harga pasarannya (fair value) sudah mencapai Rp 8 milyar.
Catatan: belakangan ini penilaian asset kembali/revaluasi sudah semakin lumrah dilakukan, dan penggunaan fair value semakin bergaung—karena penilaian yang menggunakan metode “cost” sudah dianggap semakin tak relevan. Namun demikian prinsip “historical cost” bukanlah prinsip yang digunakan bertahun-tahun tanpa alasan. Begitu lama dianut karena dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya “diskresi” (penilaian seenak udel sendiri) yang bisa saja diterapkan oleh manajemen perusahaan untuk mengangkat nilai perusahaan mereka melalui revaluasi, yang tidak bisa dipungkiri memang bisa diakali.
2. Akrual – Akrual (accrual basis) adalah salah satu prinsip paling berpengaruh di dunia akuntansi, yang menjadi dasar pengakuan revenue, cost serta biaya yang timbul di dalam perjalanan opersional perusahaan. Akrual ini bercabang menjadi 2 prinsip, yaitu:
- Pengakuan Pendapatan (Revenue Recognition) – Dengan prinsip ini, akuntansi memandatkan bahwa pendapatan hanya boleh diakui bila sudah menjadi hak dan dapat diukur.
- Kesesuaian (Matching Principle) – Dengan prinsip ini, akuntansi memandatkan bahwa cost serta biaya hanya diakui bila bisa dihubungkan dengan pendapatan yang dihasilkan dalam periode yang sama.
3. Pengungkapan Penuh (Full Disclosure) – Dengan prinsip ini, akuntansi memandatkan agar semua informasi ekonomis yang berhubungan dengan isi laporan keuangan, diungkapkan. Itu sebabnya mengapa laporan keuangan yang lengkap terdiri dari:
- Financial statements
- Notes to financial statements
- Supplementary information
Hambatan (Konstrain)
Apa sih itu “konstrain”? Mungkin ada yang bertanya seperti itu. Jika diterjemahkan secara verbal, “constraint” artinya “keterbatasan”.
Membahas “constraint theory” bisa menjadi panjang lebar dan akan lebih banyak lari ke akuntansi manajemen.
Jika disederhanakan, “constraint” artinya: setiap system memiliki keterebatasan, termasuk entitas dan informasi keuangan yang dihasilkan juga memiliki keterbatasan. Maka dari itu maka akuntansi terpaksa (mau-tidak-mau) mentoleransi berbagai kemungkinan keterbatasan tersebut. Sebagai konsekwensi logis, maka pembaca laporan keuangan juga diharapkan bisa memahami keterbatasan tersebut.
Hambatan atau keterbatasan itu Adapun keterbatasan/hambatan yang yang dimaksudkan, meliputi:
1. Estimasi dan Penilaian – Ada begitu banyak unsur ketidakpastian di dalam suatu kejadian ekonomis (economic event.) Pengukuran terhadap transaksi yang mengandung ketidakpastian mau-tidak-mau menggunakan estimasi dan penilaian (yang bisa saja bersifat sbyektif). Ini tergolong konstrain atau keterbatasan. Misalnya: seperti yang sudah saya sampaikan di awal tulisan, bahwa: tingkat ketertagihan piutang mengandung unsure ketidakpastian, oleh karena itu maka dibuatkan cadangan piutang tak tertagih—yang masih berupa “estimasi’ dan banyak menggunakan penilaian (yang bisa saja bersifat subyektif).
2. Materialitas – Disamping estimasi dan penilaian, akuntansi juga mengggunakan ‘metrialitas’ sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan sikap terhadap suatu kejadian ekonomis (transaksi). Misalnya: kas kecil selisih Rp 200 rupiah karena uang kembaliannya berupa permen. Apakah karena itu lalu laporan kas dianggap bermasalah? Jawabannya, tergantung apakah bagi perusahaan Rp 200 itu dianggap material atau immaterial. Dan ini bisa berbeda antara suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Ini termasuk keterbatasan/hambatan yang dihadapi dalam pelaporan keuangan.
3. Konsistensi – Dalam prakteknya, perusahaan bisa saja menggunakan berbagai metode pengukuran, pencatatan dan pelaporan, yang tidak bisa dipaksakan begitu saja. Ini juga hambatan. Akuntansi bisa menerima keterbatasan ini sepanjang perushaan melakukannya secara konsisten dari waktu-ke-waktu. Misalnya: jika dari awal menggunakan metode garis lurus dalam menghitung penyusutan aktiva, maka untuk seterusnya perisahaan diharapkan menggunakan metode yang sama. Atau mungkin persahaan menggunakan metode FIFO dalam menentukan harga pokok penjualan dari persediaan barang dagangan yang laku, maka perusahaan diharapkan untuk konsisten menggunakan metode yang sama dari satu period eke periode lainnya.
4. Konservatif – Konstrain yang terakhir adalah terkait dengan tingkat ktidakpastian hak dan kewajiban yang akan terjadi namun belum sungguh-sungguh terjadi. Aktiva tidak boleh diakui lebih besar dari yang seharusnya, dan di sisi lainnya, kewajiban tak boleh diakui lebih kecil dari yang seharsnya.
Dari berbagai asumsi, prinsip dan kontrain yang digunakan dalam akuntansi bisa dilihat bahwa: AKUNTANSI BUKAN HUKUM—accounting isn’t law. Bukan ilmu pasti yang bisa diterapkan secara kaku. Oleh sebab itu setiap kali pengusaha kecil bertanya “Apakah perusahaan saya perlu membuat pembukuan?” saya selalu menjawab: jika anda bisa mengelola usaha dengan baik tanpa pembukuan, untuk apa berpikir tentang sesuatu yang samasekali tidak anda butuhkan?
0 komentar:
Posting Komentar