Rainbow Pinwheel Pointer
JANGAN LUPA FOLLOW MY BLOG UNTUK SELALU MENDAPATKAN UPDATE TIPS DAN TRIK TERBARUTERIMA KASIH TELAH BERKUNJUNG DI BLOG INI
Latest Article Get our latest posts by subscribing this site

Perlakuan Akuntansi Tanah Dan Bangunan Yang Belum Digunakan

Rabu, 22 Oktober 2014


Bagaimana perlakuan akuntansi tanah dan bangunan yang belum digunakan? Itulah pertanyaan klien yang saya terima via email beberapa hari yang lalu. Terusterang saya senyum-senyum sendiri membaca emailnya, baru pertamakali mendengar istilah “perlakuan akuntansi tanah dan bangunan yang belum digunakan.”
Bisa jadi pembaca ada yang sudah mendengar/tahu sebelumnya, tetapi swear, sejak kuliah saya baru dengar istilah tersebut. Istilah yang paling dekat, kelihatannya, adalah “perlakuan akuntansi aktiva tetap” (PSAK 16,) tetapi PSAK 16 sendiri hanya membahas tanah dan bangunan yang digunakan untuk operasional perusahaan (untuk menghasilkan barang/jasa), bukan untuk tanah dan bangunan yang tidak digunakan.
Pada prakteknya, kasus perusahaan membeli tanah atau bangunan namun tidak digunakan, kerap terjadi. Itu sebabnya saya mengangkat kasus ini ke dalam tulisan. Siapa tahu ada kawan lain yang mengalami kasus serupa namun tidak tahu tahu harus memperlakukannya seperti apa.

Kasus Perusahaan Membeli Tanah dan Bangunan Namun Belum Digunakan

Karena kurang paham dengan istilah “perlakuan akuntansi tanah dan bangunan yang belum digunakan,” akhirnya saya tindaklanjuti via telepon. Di telepon saya tanyakan bagaimana kasus yang sebenarnya. Berikut adalah ringkasan isi percakapan saya dengan penanya (klien):
[Saya]: Coba ceritakan kasusnya
[Klien]: Kasusnya, perusahaan membeli satu unit ruko
[Saya]: Apakah pembayaran dilakukan dengan menggunakan kas perusahaan?
[Klien]: Iya.
[Saya]. Apakah transaksinya sudah terjadi?
[Klien]: Sudah kemarin Pak. Tetapi saya belum tahu bagaimana perlakuannya
[Saya]. Memangnya ada rencana pindah kantor atau apa?
[Klien]: Tidak
[Saya]. Lha, terus untuk apa beli ruko?
[Klien]. Saya tidak tahu persis. Tiba-tiba saja kemarin pak dirut suruh saya kirim kasir ke notaris untuk bayar ruko. Tolong tanya ke Pak Dirut langsung.
(Walaahh… , bisik saya dalam hati)
Kejadian seperti ini—dimana boss memerintahkan staf tanpa penjelasan, memang sudah menjadi pemandangan yang lumrah di perusahaan-perusahaan. Entah apa penyebabnya.
Sebagian dari boss mungkin berpikir “ah staf nggak perlu tahu banyak, yang penting mereka jalankan apa yang saya perintahkan”. Sebagiannya lagi (terutama pemilik private company) mungkin berpikir “ini strategi bisnis, mereka (staf) tak boleh tahu banyak”.
Untuk kawan-kawan yang masih kuliah, ini bukan teori juga bukan hayalan. Tetapi fakta, yang suatu saat nanti (jika sudah bekerja) akan anda alami—dimana atasan memerintahkan sesuatu tanpa penjelasan yang cukup.
Bagi saya pribadi, ini adalah contoh praktek komunikasi bisnis yang buruk. Mengapa saya katakan buruk?
  • Pertama, secara tidak langsung boss/atasan membiarkan staf dalam keragu-raguan yang pada akhirnya membuat alur pekerjaan menjadi terhambat atau minimal melambat. Akan menjadi lebih parah apabila staf-nya kebetulan orang yang tidak tahan stress—pikirannya akan terus dihantui oleh transaksi yang membingungkan tersebut sehingga tidak bisa fokus dengan baik untuk mengerjakan tugas lainnya. Apalagi pekerjaan akuntansi/keuangan yang memang memerlukan konsentrasi tinggi.
  • Kedua, saya terpaksa menemui pak dirut untuk klarifikasi kasus tersebut. Saya sih tidak masalah, lha wong setiap menit yang saya gunakan untuk mereka sudah dihitung dan dibayar koq. Yang rugi ya klien sendiri, karena terpaksa harus membayar saya ekstra (untuk datang). Disamping juga waktu pak direktur menjadi terganggu oleh kehadiran saya.

Idealnya, pada kasus ini, staf bisa menanyakan sendiri kepada orang yang memberi perintah, “Mohon maaf, ini ruko rencananya untuk apa?” Tetapi saya juga tidak mau menyalahkan staf, karena di perusahaan lain saya pernah menyaksikan langsung atasan yang mengeluarkan kata-kata tak layak dengar kepada bawahannya:
[quote]“Sudah, jangan banyak pikir dan tanya, lakukan saja apa yang saya perintahkan. Saya sudah punya kepala sendiri, yang saya butuhkan hanya tangan dan kaki”.[/quote]
Bisa jadi pegawai accounting klien saya itu pernah menerima kata-kata sejenis dari atasannya sehingga tidak berani banyak tanya.
Sorry, ngelantur. Kembali ke kasus perusahaan yang membeli tanah dan bangunan namun tidak digunakan. Bagaimana perlakuan akuntansinya?
Dari perbincangan di telepon saya menyimpulkan bahwa perusahaan memang membeli ruko (tentu termasuk tanahnya). Artinya, perusahaan memang harus mengakui transaksi tersebut dalam laporan keuangannya.
Untuk tahu bagimana perlakuan akuntansinya, ada satu informasi kunci yang perlu diketahui terlebih dahulu, yaitu: UNTUK APA PERUSAHAAN MEMBELI TANAH DAN BANGUNAN TERSEBUT? (Catatan: Yang paling penting di sini adalah “NIATNYA”, perkara nanti pelaksanaanya berbeda, itu lain soal):
1. Jika NIATNYA untuk KEPERLUAN OPERASIONAL perusahaan itu sendiri—dalam artian: untuk menghasilkan atau menyediakan barang/jasa yang akan dijual, MESKIPUN SAAT INI MUNGKIN BELUM DIGUNAKAN, maka tanah dan bangunan tersebut diakuai sebagai “Aktiva Tetap” sebagaimana ketentuan PSAK 16, atau istilah IAS 16-nya “Long-Term Assets”, atau istilah U.S. GAAP-nya “Property, Plants and Equipments” (PPE).
Diakui sebesar nilai perolehan dan pengeluaran-pengeluaran yang menyertainya. Bangunannya, sejak siap untuk digunakan, disusutkan sepanjang umur ekonomisnya, dan tanahnya mungkin di revaluasi setiap kuartal, semester atau tahun. Pengeluaran-pengeluaran yang timbul setelah penggunaan, bisa dikapitalisasi atau dibebankan di periode berjalan. Dan seterusnya (silahkan baca PSAK 16).
2. Jika NIATNYA bukan untuk keperluan operasional perusahaan itu sendiri, masuk ke kelompok INVESTASI JANGKA PANJANG, bersama-sama dengan instrument investasi jangka-panjang lainnya (a.l.: equity securities, bonds held-to-maturity, sinking fund for bond retirement, dll). Persisnya, ada di antara persediaan dan aktiva tetap.
Dalam PSAK dikenal yang namanya “Properti Investasi”. Untuk tahu apakah ruko dalam kasus ini bisa dikelompokan sebagai properti investasi atau tidak, tentunya perlu tahu, terlebih dahulu, apa itu properti investasi dan bagimana perlakuan akuntansinya.
Kita bahas sedikit…

Perlakuan Akuntansi Properti Investasi

Khusus mengenai properti investasi dibahas dalam PSAK 13 (Revisi 2007), yang kemudian direvisi lagi di tahun 2011 (berlaku efektif per 1 Januari 2012 kemarin). Nah, apa itu property investasi? Dalam PSAK 13 disebutkan:
“Properti investasi adalah properti (tanah atau bangunan atau bagian dari suatu bangunan atau kedua-duanya) yang dikuasai (oleh pemilik atau lessee/penyewa melalui sewa pembiayaan) untuk menghasilkan rental atau untuk kenaikan nilai atau kedua-duanya, DAN TIDAK untuk:
(a) digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa atau untuk tujuan administratif; atau
(b) dijual dalam kegiatan usaha sehari-hari.”
Ketika saya tanya Dirut perusahaan klien mengenai tujuan perusahaan membeli ruko, jawaban beliau sangat enteng:
[Dirut]: Belum tahu persis, untuk apa. Yang jelas harganya sangat oke, maka gua beli.
[Saya]: Lho, harus tahu. Kalau nggak, tar laporan keuangannya gimana?
[Dirut]: Gua mah nggak peduli. Harga bagus ya gua ambil. Emangnya nggak boleh? Perkara laporan keuangan ya urusan elu. Buat apa gua bayar elu mahal-mahal?
Lha ya ini yang sering saya bilang: Entrepreneur, terutama di perusahaan-perusahaan yang belum listing di bursa, TIDAK PEDULI URUSAN STANDAR AKUNTANSI. Yang mereka pedulikan hanya untung-atau-rugi saja.
Menghadapi pengusaha model seperti ini, perlu sedikit trick. Bagimana trick-nya?
Sebenarnya ini rahasia kelemahan mereka (pengusaha) hahahahaha…. Caranya gampang; bilang saja berpengaruh ke legalitas. Mereka memang tidak peduli standar akuntansi, tetapi sangat concern terhadap legalitas. Sambil membahas topik lain di ruang accounting, saya buka HP, lalu kirim email ke Dirut yang isinya:
Mohon informasi mengenai ruko, itu dibeli untuk apa? Ini penting. Hati-hati. SIUP perusahaanmu adalah manufaktur, bukan jual-beli property! Kalau tim yustisi biro ekonomi datang, entar repot lho.”
Tembakan email itu ternyata sangat manjur. Selang beberapa menit, beliau membalas email saya dengan penjelasan singkat:
Ruko itu dibeli untuk keperluan antisipasi ekspansi di masa-masa yang akan datang. Untuk sementara tidak akan dipakai sampai dibutuhkan. Jikapun nanti ternyata tidak memungkinkan untuk ekspansi, ya tinggal dijual juga tetap untung.”
Sayangnya jawaban emailnya masih ‘bersayap’ alias ‘banci’ alias tidak bisa serta-merta dijadikan dasar pertimbangan. Setengahnya mengatakan untuk tujuan operasional di masa yang akan datang, setengah sisanya menyiratkan kemungkinan akan dijual kembali.
Merujuk kembali ke PSAK 13, disana diberikan beberapa contoh jenis perolehan property yang bisa digolongkan sebagai properti investasi. Paragraf 8 menyebutkan:
Berikut adalah contoh properti investasi:
(a) tanah yang dikuasai dalam jangka panjang untuk kenaikan nilai dan bukan untuk dijual jangka pendek dalam kegiatan usaha sehari-hari;
(b) tanah yang dikuasai saat ini yang penggunaannya di masa depan belum ditentukan. (Jika entitas belum menentukan penggunaan tanah sebagai properti yang digunakan sendiri atau akan dijual jangka pendek dalam kegiatan usaha sehari-hari, tanah tersebut diakui sebagai tanah yang dimiliki dalam rangka kenaikan nilai);
(c) bangunan yang dimiliki oleh entitas (atau dikuasai oleh entitas melalui sewa pembiayaan) dan disewakan kepada pihak lain melalui satu atau lebih sewa operasi;
(d) bangunan yang belum terpakai tetapi tersedia untuk disewakan kepada pihak lain melalui satu atau lebih sewa operasi.
(e) properti dalam proses pembangunan atau pengembangan yang di masa depan digunakan sebagai properti investasi.”
Dari isi PSAK ini saya masih belum bisa menyimpulkan; apakah ruko yang baru dibeli tersebut sebaiknya dimasukan ke “property investasi” atau tidak, karena tujuannya sudah jelas untuk keperluan ekspansi di masa yang akan datang—yang artinya untuk keperluan operasional (masuk aktiva tetap), namun di sisi lainnya juga mengatakan bisa jadi dijual kembali (masuk properti investasi).
JIKA, sekalilagi jika, diakui sebagai properti investasi, berapa yang harus diakui? Bagimana pengakuan awalnya? PSAK menyebutkan:
Properti investasi pada awalnya diukur sebesar biaya perolehan. Biaya transaksi termasuk dalam pengukuran awal tersebut.”
Lebih lanjut…
Biaya perolehan dari properti investasi yang dibeli meliputi harga pembelian dan setiap pengeluaran yang dapat diatribusikan secara langsung. Pengeluaran yang dapat diatribusikan secara langsung termasuk, misalnya, biaya jasa hukum, pajak penjualan, dan biaya transaksi lainnya.”
Selebihnya, monggo baca PSAK 13.
Khusus untuk ruko yang baru dibeli tersebut saya tidak bisa masukan sebagai property investasi karena tujuannya sudah jelas: untuk keperluan operasional dimasa yang akan datang, lebih tepatnya untuk antisipasi ekspansi, bukan semata-mata untuk mencari untung dari selisih kenaikan harga.
Akhirnya saya memutuskan untuk memasukannya ke dalam kelompok investasi jangka panjang, tepatnya di akun “Properti Cadangan Ekspansi” yang saya ambil dari versi terbarunya U.S. GAAP yang lebih dikenal dengan “Accounting Standard Codification” (ASC) buatan FASB. Daripada saya memaksakannya masuk ke “Properti Investasi”-nya PSAK yang juga kurang tepat. Mungkin kawan-kawan memiliki interpretasi sendiri? Monggo.
Bagaiamanapun juga, saya pikir, tak ada masalah. Toh sama-sama masuknya ke kelompok Investasi Jangka Panjang. Jika diantara kawan-kawan ada yang mengalami kasus serupa, silahkan baca PSAK 13 dengan cermat. Sepanjang kriterianya terpenuhi, silahkan akui sebagai properti investasi sebesar perolehan (pembelian ditambah pengeluaran terkait).

Cara Mempercepat Prosedur Proses Tutup Buku Akuntansi


Saat membaca judul tulisan ini, mungkin anda berpikir: “Mana mungkin? Adakah cara mempercepat prosedur proses tutup buku akuntansi?” Yups. Proses tutup buku, meskipun sudah rutin dilakukan, tetap saja menjadi momok yang memusingkan bagi sebagain besar pegawai akuntansi. Jangankan pemula, mereka yang sudah seniorpun masih saja keteteran ketika menghadapi proses tutup buku di akhir periode akuntansi. Tidak percaya?
Silahkan lewat di depan gedung bank (institusi keuangan yang pegawainya rata-rata orang akuntansi dan keuangan,) khususnya menjelang akhir bulan, anda akan menemukan lampu-lampu di kantor mereka masih menyala hingga larut malam. Sedang apa mereka di dalam? Lembur untuk menyelesaikan proses tutup buku.
Teman-teman yang punya istri bekerja di bagian accounting, meskipun bukan pegawai bank, pasti juga merasakan perubahan mood sang istri setiap akhir bulan—pulang larut malam, uring-uringan, wajah ditekuk. Mengapa? Ya karena alasan yang sama; stress menghadapi proses tutup buku.
Saya pribadi, sekali-waktu masih mengalami hingga saat ini, setidaknya harus ada di kantor untuk memastikan bahwa proses tutup buku berjalan lancar, sekaligus menjadi pemandu sorak (memberi semangat.)
Tentu. Pilihannya tidak selalu harus lembur, BISA DITUNDA, tetapi apa akibatnya? Management terlambat menerima laporan keuangan. Dari beberapa klien yang yang pernah saya tangani, laporan keuangan perusahaan—yang jadwal tutup bukunya di akhir bulan—biasanya baru siap setelah tanggl 7 bulan berikutnya. Apakah itu masalah?
Masalah-atau- tidaknya, tergantung pada flexibilitas dan budaya manajemen perusahaan masing-masing. Bagi saya pribadi, itu sudah sangat terlambat. Laporan keuangan mestinya sudah harus diserahkan ke manajemen satu atau dua hari setelah akhir bulan. Saya hanya memberi ruang satu hari terlambat, tidak boleh lewat.
Bisa jadi BAPPEPAM memberi batas waktu hingga tanggal 10 di bulan berikutnya. Buat saya, itu hal yang berbeda. Perkara mau diserahkan ke pihak otoritas di luar perusahaan pertengahan bulan ya silahkan saja. Tetapi manajemen harus sudah bisa melihat laporan keuangan di awal bulan. Mengapa?
Makin cepat masalah diketahui, makin bagus. Makin dini rencana operasional dibuat makin bagus. Makin awal perubahan kebijakan dibuat, makin bagus.
Nah, adakah cara untuk mempercepat proses tutup buku—sehingga tidak perlu dilanda stress setiap akhir bulan/tahun?
Berikut adalah beberapa hal yang bisa anda lakukan untuk mempercepat proses tutup buku:

1. Lakukan Ledger Review Secara Rutin

Salah satu proses yang paling banyak menyita waktu, dalam proses tutup buku, adalah pemeriksaan atau review terhadap buku besar (ledger)—untuk memastikan semua input jurnal sudah benar, akurat, dan masuk ke akun yang sesuai.
Puluhan akun buku besar—yang setiap akunnya mungkin mengandung ratusan bahkan ribuan baris transaksi—harus diperiksa satu-per-satu. Belum lagi jika ditemukan kesalahan yang artinya perlu jurnal penyesuaian atau reklasifikasi. Proses ini saja tidak akan bisa selesai selama satu hari penuh.
Jika biasanya anda melakukan review setiap menjelang tutup buku, hentikan kebiasaan itu. Sebagai gantinya, lakukan review setiap hari. Staf saya melakukan review setiap menjelang jam kerja berakhir setiap harinya.
Yang paling berbahaya adalah menyepelekan masalah, berpikir: “ah lewatin saja dahulu, toh nonti akhir bulan direview”. Jika anda termasuk yang seperti itu, sebaiknya jangan begitu lagi. Lakukan (atau usulkan adjustment/reklasifikasi) begitu masalah ditemukan. Tetapkan dalam mindset anda bahwa: TIDAK AKAN ADA REVIEW LAGI DI AKHIR BULAN, SAYA HARUS REVISI SEKARANG!
Dengan review yang dilakukan setiap hari, maka di akhir bulan anda tinggal melakukan review terhadap beberapa baris terakhir untuk transaksi hari itu saja. Itu bisa menghemat waktu hingga setengah hari di akhir bulan.

2. Lakukan Rekonsiliasi Kas Setiap Hari/Minggu

Tak kalah panjang waktu yang dibutuhkan dibandingkan ledger review, adalah proses rekonsiliasi kas (baik petty cash maupun check bank). Keadaan menjadi semakin parah karena printout rekening koran (bank statement) biasanya baru diterima beberapa hari (kadang seminggu) setelah akhir bulan. Bisa dihitung sendiri kapan buku bisa ditutup jika rekening koran baru diterima tanggal 5 atau 7.
Jika saat di bangku kuliah anda diajari cara membuat rekonsiliasi bank dengan membandingkan rekening koran dengan buku perusahaan, dalam pekerjaan yang sesungguhnya anda tidak harus menunggu hingga rekening koran diterbitkan oleh bank.
Sebagai gantinya, lakukan rekonsiliasi kas setiap hari. Untuk kas kecil (petty cash) anda bisa lakukan tanpa masalah. Untuk kas bank, mungkin anda perlu subscribe (mengajukan aplikasi) layanan bank yang bisa membuka bank statement via akses internet, sehingga anda bisa melihat rincian transaksi harian.
Ya saya tahu. Meskipun nyaris semua bank sudah menyediakan layananan internet banking, hingga saat ini belum bisa dibilang aman. Jika anda tidak terlalu yakin dengan tingkat kemanan akses via internet, anda bisa meminta layanan yang memungkinkan bagi anda untuk memperoleh output printout transaksi via faximile (dengan menghubungi nomor tertentu yang disediakan oleh bank dan memasukan nomor pin.) Ini, setahu saya, cukup aman, dan nyaris setiap bank juga menyediakan layanan ini.
Jika anda sudah bisa melihat transaksi harian di rekening bank (baik via internet atau printout faximile) lakukan prosedur rekonsiliasi setiap hari. Jka tidak ada cukup staf untuk melakukan prosedur rekonsiliasi penuh, setidaknya anda memastikan bahwa setiap kas masuk dan keluar—baik via transfer maupun check—sudah akurat.
Disamping itu, anda juga bisa, memasukan transaksi-transaksi yang tidak kelihatan di buku kas peruasahaan (biaya buku check, auto-debit, biaya transfer, dll). Separah-parahnya, minimal anda perlu melakukan prosedur rekonsilasi penuh setiap minggu.
Jika ini sudah anda lakukan setiap hari/minggu, di akhir bulan anda tinggal memeriksa dan merekonsilasi transaksi untuk hari itu saja. Dengan demikian, anda sudah menghemat waktu beberapa jam atau mungkin setengah hari di akhir bulan.

3. Buat Prosedur Kapitalisasi Yang Jelas dan Pasti

Salah satu proses tutup buku yang juga memakan waktu cukup banyak adalah pembebanan penyusutan aktiva tetap. Sebelum anda melakukan penghitungan penyusutan (depreciation), tentunya anda harus memastikan pembelian aktiva tetap untuk periode tersebut sudah masuk dalam daftar aktiva tetap yang akan disusutkan, jangan sampai ada yang ketingalan.
Dari sekian banyak kasus yang timbul di akhir periode, yang paling sering terjadi adalah adanya pembelian peralatan yang mestinya masuk aktiva tetap tetap tetapi dimasukan ke biaya, atau sebaliknya. Yang tak kalah seringnya adalah pengeluaran sehubungan dengan aktiva tetap (bangunan, mesin, dll) yang mestinya dikapitalisasi tetapi dimasukan ke akun biaya, atau sebaliknya.
Mengapa itu sering terjadi? Karena tidak ada prosedur kapitalisasi yang menyebutkan berapa batas minimal yang harus dikapitalisasi, sehingga staf tidak terlalu yakin apakah transaksi tersebut dimasukan ke aktiva tetap—alias dikapitalisasi—atau tidak. Menjadi masalah ketika staf yang input data tidak mau lapor, malah menggunakan penilaiannya sendiri.
Apa yang terjadi di penutupan buku akhir periode? Anda harus melakukan reklasifikasi-reklasifikasi sebelum menghitung penyusutan. Jika tips pertama di atas anda lakukan, kejadian seperti ini biasanya bisa anda tangkap saat melakukan review rutin. Agar hal itu tidak terjadi, maka harus ada prosedur kapitalisasi yang jelas dan pasti. Jika belum ada, bicarakan dengan manajemen, lalu buat prosedur.

4. Buat Prosedur Prepaid Yang Jelas dan Pasti

Mirip dengan kapitalisasi untuk aktiva tetap adalah akun “Biaya Dibayar Dimuka” alias “Prepaid”. Pengeluaran yang bagaimana masuk ke akun prepaid? Pengeluaran/pembelian yang terlalu kecil untuk dimasukan sebagai aktiva tetap, sementara barangnya dipakai untuk jangka waktu yang cukup lama (2 hingga 11 bulan). Misalnya: seragam pegawai? Tidak mungkin diakui sebagai aset, tetapi juga tidak pas jika dibebankan sekaligus—karena seragam dipakai dalam jangka waktu yang cukup lama. Lalu dimasukan kemana? Ke akun prepaid untuk dibebankan secara bertahap setiap bulan.
Perlakuan prepaid mirip dengan aktiva tetap, tetapi biayanya tidak disebut penyusutan melainkan biaya sesuai dengan jenis pengeluarannya. Misalnya: biaya seragam pegawai.
Karena perlakuannya mirip dengan aktiva tetap, maka karakter masalahnyapun tak jauh berbeda: staf yang input data ragu-ragu, apakah suatu pengeluaran dimasukan ke prepaid atau dibebankan langsung di periode tersebut.
Oleh sebab itu, agar tidak perlu melakukan reklasifikasi-reklasifikasi sehubungan dengan prepaid di setiap penutupan buku, maka diperlukan prosedur prepaid yang jelas yang menyebutkan: (a) pengeluaran apa saja dan berapa nilai minimal yang harus masuk prepaid.

5. Akrualkan Biaya/Beban Yang Belum Diketahui Hinggga Menjelang Penutupan Buku

Ada tipikal biaya/beban yang seringkali menjadi ‘batu-sandungan’ ketika melakukan tutup buku di setiap akhir periode. Terutama sekali “Biaya Listrik” dan “Biaya Telepon” yang nilai tagihan persisnya baru bisa diketahui setelah lewat pertengahan bulan.
Ya saya tahu—bahkan sayapun pernah melakukannya. Biaya Listrik bulan Maret misalnya, akhirnya diakui di bulan April karena angka tagihan baru diketahui setelah pertengahan Maret—sementara buku bulan Maret sudah ditutup. Apakah itu dibenarkan? Tidak boleh.
Menunggu angka pasti adalah tidak mungkin sementara pengkuan yang mundur satu bulan juga tidak dibenarkan. Solusinya? Diakrualkan. Gunakan angka estimasi dengan merujuk pada rata-rata (average) biaya yang sama di periode-periode sebelumnya. Biaya listrik dan telepon fluktuasinya tidak terlalu tajam.
Kasus yang sama juga terjadi pada biaya gaji (payroll). Ada kalanya pihak HRD terlambat dalam menyetorkan daftar gaji ke bagian accounting, sehingga data pasti baru ketahuan setelah tutup buku dilakukan. Mirip dengan kasus biaya listrik dan telepon. Jika ini yang terjadi, anda bisa mengakrualkannya untuk sementara, dibandingkan menunda tutup buku.
Untuk setiap akrual yang anda buat, sudah pasti angkanya belum akurat, namanya juga estimasi. Tetapi tidak perlu khawatir, anda bisa memperbaikinya saat melakukan jurnal balik setelah angka pasti sudah diketahui. Bagaimana prosedur akrual? Saya akan bahas di tulisan terpisah nanti.

6. Bersikap Tegas Terhadap Setiap Kesalahan

Review yang dilakukan setiap hari, memang sudah cukup mengurangi beban di akhir bulan. Melakukan rekonsiliasi kas juga merupakan langkah cerdas yang bisa menurunkan aktifitas tutup buku secara signifikan. Demikian juga dengan prosedur kapitalisasi dan prepaid yang bisa mengurangi potensi pekerjaan ekstra dalam proses tutup buku.
Tetapi, semua itu akan menjadi sia-sia jika kesalahan masih terus terjadi. Tidak ada hal yang paling boros (dan mengesalkan) selain kesalahan yang dilakukan berulang-ulang, yang tiada lain adalah keteldoran yang dipelihara.
Pada kasus yang agak kompleks, waktu yang diperlukan untuk memperbaiki suatu kesalahan bisa lebih banyak dibandingkan dengan mengerjakan atau membuat sesuatu yang baru.
Khusus untuk anda yang sudah ada di posisi supervisor ke atas, tidak ada cara lain untuk meminimalkan potensi kesalahan selain bersikap tegas untuk setiap kesalahan yang anda temukan. Jikapun anda tidak menerapkan “punishment”, setidaknya anda perlu menekankan betapa pentingnya untuk mengerjakan sesuatu dengan benar sejak di awal, betapa tidak efektifnya pekerjaan merevisi.
Mungkin staf jadi kecewa, merasa ditindas, bahkan mungkin sedih karena sikap anda yang tidak kompromistik. Jika itu yang terjadi, beri mereka pengertian bahwa melakukan kesalahan secara berulang-ulang adalah bentuk sikap tidak bertanggungjawab, ignorance, dan itu tidak bisa diterima di lingkungan bisnis manapun.
Katakan padanya (yang melakukan kesalahan) agar segera memperbaiki diri, demi kebaikan dirinya sendiri, dan terutama sekali agar jangan mengorbankan kawan satu teamnya (terpaksa harus lembur di akhir bulan) untuk menanggung sikap ignorance yang dipeliharanya.
Jika keenam tips ini dilakukan dengan sungguh-sungguh, disiplin dan konsisten, saya yakin siapapun bisa mempercepat proses tutup buku akuntansi pada perusahaan jenis dan dalam sekala apapun. Selamat mencoba, dan semoga sukses.

Akuntansi Pendapatan : Ketentuan Dasar Pengakuan Pendapatan

Selasa, 21 Oktober 2014


Akuntansi pendapatan sekilas nampak sederhana, tetapi menjadi makin rumit ketika didalami. Dalam menetukan kapan pendapatan (revenue) bisa diakui, meskipun PSAK telah mengikuti IFRS, pada kenyataannya masih banyak perusahaan yang betah menggunakan panduan PSAK-lama yang berkiblat ke US-GAAP. Apakah itu salah? Nanti kita jawab. Yang ingin saya bahas dalam tulisan ini adalah ketentuan dasar pengakuan pendapatan.

Mengapa Pengakuan Pendapatan Perlu Diatur?

Secara umum, prinsip dan prosedur dalam akuntansi—yang kemudian dijabarkan dalam standar-standar, dibuat agar laporan keuangan perusahaan menjadi “adil/fair” bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Fair’ dalam hal ini mengandung makna: tidak ‘diakali’. Apa ya kata yang lebih tepat? Ya intinya tidak dimanipulasi. Kesannya koq jadi negative ya? Sebenarnya saya ingin menghaluskannya, tetapi itulah kata yang paling tepat menurut saya.
Mau disampaikan secara halus (dengan bahasa normative yang cederung bersayap dan membingugka) atau disampikan secara vulgar (versi saya), pada kenyataanya ketentuan mengenai pengakuan pendapatan lebih banyak dimaksudkan untuk mengurangi potensi manipulasi (abuse).
Manipulasi seperti apa?
  • Pendapatan diakui lebih besar dibandingkan kenyataannya—agar perusahaan kelihatan lebih profitable (ini tidak fair bagi investor dan kreditor)
  • Pendapatan diakui lebih kecil dari kenyataannya—agar perusahaan kelihatan tidak profitable (ini tidak fair bagi pemerintah yang diwakili oleh Ditjen Pajak).
  • Pendapatan diakui lebih awal—untuk tujuan yang sama seperti yang pertama
  • Pendapatan diakui lebih belakangan—untuk tujuan yang sama seperti yang kedua
Dan tindakan-tindakan manupulatif lainnya, termasuk tindakan manajemen yang memanipulasi pengakuan pendapatan untuk memperoleh penilian kinerja tinggi dari pemegang saham sehingga menerima bonus atau bentuk reward lainnya.
Itulah yang ingin dicegah oleh regulator dan pembuat standar, sehingga perlu dibuatkan ketentuan pasti mengenai pengakuan pendapatan.

Hal Mendasar Apa Yang Perlu Diperhatikan Sehubungan Dengan Pengakuan Pendapatan?

Sejak dahulu, akuntansi telah menentukan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan ketika menjalankan proses akuntansi, termasuk pengakuan pendapatan.
Dalam Prinsip-prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU) atau GAAP misalnya, pengakuan pendapatan hendaknya mempertimbangkan “prinsip kehati-hatian” (conservatism principle). Prinsip ini mensyaratkan agar:
  • Tidak mengakui pendapatan yang belum pasti atau masih berupa potensi, di satu sisinya; dan
  • Mengakui biaya meskipun masih belum pasti atau masih berupa potensi, di sisi lainnya.
Mengapa perlu memperhatikan prinsip kehati-hatian? Ya untuk mencegah manipulasi-manipulasi tadi itu.
Seiring perkembangan waktu, prinsip kehati-hatian dianggap sudah usang, sudah tidak relevan lagi, sehingga oleh IFRS diperkenalkan prinsip baru yang disebut dengan “prudent”—sebagai pengganti “conservatism principle.” Kata ‘prudence’ (benda) atau “prudent” (sifat) bukan perbendaharaan baru dalam kosa-kata bahasa Inggris. Secara harfiah, prudent mengandung makna “bijak” dan prudence artinya kebijaksanaan.
Apa yang dimaksud dengan “bijak” alias prudent dalam IFRS—terutama sehubungan dengan pengakuan pendapatan?
Ada yang mengatakan prudent artinya: “pendapatan boleh diakui meskipun masih berupa potensi, sepanjang memenuhi ketentuan pengakuan pendapatan (revenue recognition) dalam IFRS”.
Seperti apa ketentuan IFRS mengenai pengakuan pendapatan? Benarkah prudence? Benarkah lebih bijak jika dibandingkan dengan prinsip kehati-hatian (conservatism principle)? Mari kita lihat sama-sama….

Ketentuan Dasar Pengakuan Pendapatan (Revenue), Menurut IFRS

Secara garis besar, Kerangka Kerja IASB (cikal-bakalnya IFRS) mengikutsertakan “gain” dan “revenue” sebagai bagian dari “income”.
Dalam IAS 18, revenue itu sendiri didefinisikan sebagi pendapatan yang timbul dari aktivitas normal suatu entitas—baik perseorang atau badan usaha yang melakukan aktivitas usaha—dalam berbagai varian, mungkin disebut:
  • Penjualan;
  • Fee;
  • Bunga;
  • Dividend;
  • Royalti
Mengenai besarnya pendapatan yang diakui, IAS 18 menyatakan bahwa, pendaatan diukur pada nilai wajar piutang atau kemungkinan pendapatan yang diterima, setelah dikurangi diskon maupun potongan (rebate) yang diberikan kepada pembeli atau pelanggan.
Kapan pengakuan pendapatan dilakukan, menurut IFRS? Menurut IAS 18, pendaptan diakui saat risiko yang melekat pada barang/jasa (yang diperjualbelikan) berpindah ke pembeli atau pengguna jasa.
Lebih rinci, mengenai saat pengkuan pendapatan, IFRS memberikan 2 ketentuan utama dan beberapa ketentuan tambahan, sebagai berikut:
1. Pengakuan Pada Titik Penyerahan (at point of delivery) – Perusahaan atau seseorang hanya mengakui pendapatan ketika barang/jasa diserahkan ke pembeli atau pelanggan. Misalnya:
  • Pedangan eceran (retail) mengakui pendapatan saat barang diserahkan ke pembeli yang biasanya bersamaan dengan proses pembayaran di kasir—sebab, jika barang itu rusak atau hilang setelah pembeli pergi dari kasir, risiko tersebut sudah menjadi tanggungjawab pembeli itu sendiri.
  • Perusahaan eksportir yang menggunakan kondisi FOB, mengakui pendapatan ketika barang sudah berada di atas kapal laut atau pesawat udara pengangkut barang—sebab, dalam kondisi ‘Free on Board (FOB), tanggungjawab eksportir berakhir hanya sampai barang berada di atas kapal/pesawat. Jika ada kehilangan atau kerusakan setelahnya, sudah menjadi risiko pembeli.
2. Pengkuan Pada Saat Pembayaran (at time of payment) – Bisa dibilang prosedur yang kedua ini merupakan penyempurna prosedur yang pertama di atas. Di sini disebutkan bahwa: meskipun barang/jasa telah diserahkan secara penuh (dan risiko yang melekat pada barang/jasa telah berpindah ke pembeli), jika kepastian pembayaran belum diperoleh, maka pendapatan belum bisa diakui.
Misalnya:
Sebuah perusahaan batako menngirimkan batako ke pelanggannya (sebuah toko bahan bangunan.) Jika si perusahaan batako tidak memperoleh keyakinan mengenai pembayaran yang akan diterima, maka perusahaan itu tidak bisa mengakui penyerahan tersebut sebagai pendapatan—meskipun barangnya telah berpindah tangan.
Menurut saya, ini agak membingungkan. Penjualan kredit macam apapun, tidak mengandung keyakinan seratus persen mengenai kepastian pembayaran yang akan diterima. Jika salah diartikan, aturan yang kedua ini ‘seolah-olah’ tidak mengijinkan adanya pengakuan pendapatan untuk penjualan kredit, seolah-olah sistim akuntansi akrual sudah tidak berlaku lagi—digantikan oleh cash-basis.
TETAPI saya yakin maksudnya tidak demikian. Sayangnya, sampai saat ini saya belum menemukan penjelasan mengenai batasan pasti sehubungan dengan prosedur pengakuan pendapatan yang kedua (at time of payment) ini.
Dibandingkan menggunakan istilah “saat pembayaran” (at time of payment)—yang cenderung disalahartikan sebagai penerimaan kas, saya lebih suka menggunakan istilah “saat komitmen pembayaran” (at time of pay-commitment)—yang disatu sisinya tetap menekankan pentingnya kepastian (melalui komitmen yang jelas) tanpa potensi bias makna di sisi lainnya.
Dalam kasus pedagang batako tadi misalnya; tanpa dipesan dan tanpa komitmen (janji membayar) dari toko bangunan, saya rasa si perusahaan batako tak akan mengirimkan barangnya begitu saja. Atau untuk skala yang lebih besar, perusahaan eksportir tidak mungkin mengirimkan barang ke pelanggannya di luar negeri sana, tanpa komitmen membayar yang pasti.
Disamping 2 ketentuan utama tadi, IFRS juga menyertakan beberapa ketentuan tambahan—yang mungkin membuat ketetuan pengakuan pendapatan versi IFRS ini menjadi lebih gamblang. Dalam ketentuan tambahan, pendapatan dapat diakui oleh seorag penjual barang/jasa bila:
1. Tidak Ada Kewajiban Membantu Pembeli Untuk Menjual – Penjual bisa mengakui pendapatan bila tidak memiliki kewajiban untuk membantu pembelinya dalam menjual kembali barangnya kepada pihak ketiga. Dengan kata lain, kewajiban berakhir saat barang diserahkan ke pembeli. Dalam kasus konsinyasi misalnya, suatu perusahaan belum bisa mengakui pendapatan pada saat mengirimkan barangnya ke toko, melainkan masih harus menunggu hingga pihak tokonya berhasil menjual barang tersebut kepada konsumen akhir.
2. Kerusakan Barang Tidak Mempengaruhi Komitmen Pembayaran – Penjual bisa mengakui pendapatan bila kerusakan setelah penyerahan tidak mempengaruhi komitmen pembeli untuk membayar secara penuh. Dalam kasus penjualan barang bergaransi, penjual bisa memilih salah satau cara berikut ini:
(a) Pendapatan diakui ketika barang diserahkan, asalkan porsi ‘potensi-beban-atas-garansi’ sudah dialokasikan ke dalam harga jual dan mengakui kewajiban garansi (secara terpisah) saat pengakuan pendapatan dilakukan. Saya pikir, ini bisa dilakukan dengan memasukan jurnal:
[Debit]. Piutang = 5,000,000
[Kredit]. Penjualan = 5,000,000
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = 3,000,000
[Debit]. Biaya Sparepart Diakrualkan = 500,000 (karena belum pasti ada klaim garansi)
[Kredit]. Persediaan = 3,000,000
[Kredit]. Kewajiban Kontinjensi – Garansi = 500,000 (cadangan kewajiban bila garansi di klain)
Atau
(b) Pendapatan diakui setelah masa garansi berakhir, sehingga ketahuan berapa porsi garansi yang harus dibebankan.
3. Transaksi Jual-beli Harus Dengan Entitas Lain – Dalam pengertian tidak memiliki hubungan istimewa (misal: perusahaan induk dengan cabang). Transaksi jual-beli antara perusahaan induk dengn cabang dianggap perdangan dalam perusahaan (inter-company) dan harus dieliminasi dari laporan keuangan.
Nah, bagaimana menurut anda, apakah ketentuan IFRS ini bisa disebut ‘prudent’? Apakah lebih bijak jika dibandingkan prinsip kehati-hatiannya GAAP?
Sambil menunggu pertimbangan anda, saya sangat tertarik terhadap ketentuan pengakuan pendapatan yang diterapkan di Amerika Serikat, terutama sekali klausul pengakuan “Recognition When Customer Acceptance is Secured” sebagai bentuk konkret penerapan prinsip kehati-hatian di AS sana.

Pengakuan Pendapatan Ketika Penerimaan Dari Pembeli Sudah Aman

Security Exchange Commission (SEC)—Bappepam-nya AS—menerbitakan “Staff Accounting Bulletin” (SAB) No. 101 untuk mencegah potensi manipulasi sehubungan dengan pengakuan pendapatan oleh perusahaan publik di negara tersebut.
Di bawah ketentuan SAB 101, transaksi penjualam yang mengandung klausul konfirmasi penerimaan (approval) baru boleh diakui sebagai pendapatan setelah konfirmasi penerimaan di peroleh.
Misalnya: Sebuah perusahaan di Chicago mengirimkan barang ke salah satu pelanggannya di Indonesia dengan ketentuan: pelanggan akan melakukan inspeksi terhadap kwalitas barang ketika tiba di pelabuhan—bila tidak sesuai kesepakatan maka barang akan dikembalikan.
Dengan klausul tersebut, penjual barang yang ada di Chicago baru boleh mengakui pendapatan setelah perusahaan di Indonesia selesai melakukan inspeksi dan menyatakan menerima pengiriman barang tersebut.
Intinya, sama saja: KOMITMEN
Sekalilagi, menurut anda apakah ketentuan IFRS di atas bisa dibilang prudent (lebih bijak) jika dibandingkan prinsip kehati-hatinnya GAAP?(silahkan sampaikan pendapatnya via ruang komentar du ujung halaman ini)

Menggunakan ‘HAK’ Sebagai Patokan Pengakuan Pendapatan (Alternative)

Di luar prudent atau tidak, daripada menggunakan aturan ‘mbulet-njlimet’ yang membingungkan, saya lebih suka menggunakan “HAK” sebagai patokan dasar:
Pendapatan diakui bila sudah menjadi ‘HAK’.
Kapan menjadi HAK?
Pendapatan Menjadi HAK ketika kewajiban menyerahkan barang/jasa telah ditunaikan dan komitmen pembayaran telah diperoleh sesuai kesepakatan.
Menurut saya itu saja. Jauh lebih sederhana tanpa menimbulkan kebingungan.
Bagaimanapun juga, ketika terjadi sengketa—dimana pembeli melakukan wan-prestasi (mengingkari janjinya untuk membayar), yang menjadi acuan dasar penyelesaian tetap saja komitmen yang sah menurut peraturan dan perundang-undangan, bukan parameter-parameter di luar itu. Dalam pengertian, hukumlah yang menjamin ‘hak’ itu mendekati pasti akan diterima sepanjang kewajiban menyerahkan barang/jasa telah ditunaikan.
Lalu mana yang benar? Mana yang diikuti?” Mungkin ada yang berpikir demikian.
Tidak ada yang salah atau benar dalam akuntansi—termasuk perlakuan pendapatan.
  • Untuk perusahaan-perusahaan yang berstatus publik (terbuka) atau skalanya sudah besar—apalagi yang membuka diri untuk investor atau partner bisnis antar-negara, tentu mengikuti ketentuan IFRS menjadi krusial, sehingga keterterimaan di kancah global menjadi lebih tinggi.
  • Sedangkan untuk perusahaan berstatus non-publik dengan skala kecil hingga menengah, saya selalu menyarankan agar tidak usah terlalu ambil-pusing mengenai perlakuan akuntansi (termasuk akuntansi pendapatan)—apakah perlu mengikuti IFRS atau tidak. 
Situasi yang paling sering dihadapi oleh akuntan yang bekerja di dalam perusahaan yaitu: terjebak dalam situasi antara memilih mengikuti setiap perkembangan standar akutansi (yang berubah dari waktu-ke-waktu) DAN efektifitas fungsi akuntansi (yang mestinya menjadi alat yang mempermudah operasional perusahaan, bukan menjadi beban apalagi menghambat.)
Mengikuti perkembangan standar itu penting, tetapi jangan sampai tenaga dan sumberdaya habis terkuras untuk hal-hal yang sifatnya tidak incremental.
Jalan tengah paling bijak, menurut saya, adalah mengikuti yang dirasa bisa diikuti, bersifat penting, memberi nilai tambah, dan bisa menjadi piranti untuk meningkatkan profitabilitas perusahaan yang se-real-realnya. Buat saya pibadi, yang terpenting masih patuh terhadap prinsip dan aturan dasar akuntansi, rasional, mudah dipahami, serta tidak dimaksudkan untuk memanipulasi atau mengelabui pihak lain. Selebihnya, saya memilih fokus pada usaha-usaha untuk membuat nilai tambah, membuat perusahaan menjadi lebih profitable, buka peluang kerja yang lebih banyak dan sejahterakan orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Information

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Vocca AK - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger