Rabu, 22 Oktober 2014
Bagaimana perlakuan akuntansi tanah dan bangunan yang belum digunakan? Itulah pertanyaan klien yang saya terima via email beberapa hari yang lalu. Terusterang saya senyum-senyum sendiri membaca emailnya, baru pertamakali mendengar istilah “perlakuan akuntansi tanah dan bangunan yang belum digunakan.”
Bisa jadi pembaca ada yang sudah mendengar/tahu sebelumnya, tetapi swear, sejak kuliah saya baru dengar istilah tersebut. Istilah yang paling dekat, kelihatannya, adalah “perlakuan akuntansi aktiva tetap” (PSAK 16,) tetapi PSAK 16 sendiri hanya membahas tanah dan bangunan yang digunakan untuk operasional perusahaan (untuk menghasilkan barang/jasa), bukan untuk tanah dan bangunan yang tidak digunakan.
Pada prakteknya, kasus perusahaan membeli tanah atau bangunan namun tidak digunakan, kerap terjadi. Itu sebabnya saya mengangkat kasus ini ke dalam tulisan. Siapa tahu ada kawan lain yang mengalami kasus serupa namun tidak tahu tahu harus memperlakukannya seperti apa.
Kasus Perusahaan Membeli Tanah dan Bangunan Namun Belum Digunakan
Karena kurang paham dengan istilah “perlakuan akuntansi tanah dan bangunan yang belum digunakan,” akhirnya saya tindaklanjuti via telepon. Di telepon saya tanyakan bagaimana kasus yang sebenarnya. Berikut adalah ringkasan isi percakapan saya dengan penanya (klien):
[Saya]: Coba ceritakan kasusnya
[Klien]: Kasusnya, perusahaan membeli satu unit ruko
[Saya]: Apakah pembayaran dilakukan dengan menggunakan kas perusahaan?
[Klien]: Iya.
[Saya]. Apakah transaksinya sudah terjadi?
[Klien]: Sudah kemarin Pak. Tetapi saya belum tahu bagaimana perlakuannya
[Saya]. Memangnya ada rencana pindah kantor atau apa?
[Klien]: Tidak
[Saya]. Lha, terus untuk apa beli ruko?
[Klien]. Saya tidak tahu persis. Tiba-tiba saja kemarin pak dirut suruh saya kirim kasir ke notaris untuk bayar ruko. Tolong tanya ke Pak Dirut langsung.
(Walaahh… , bisik saya dalam hati)
Kejadian seperti ini—dimana boss memerintahkan staf tanpa penjelasan, memang sudah menjadi pemandangan yang lumrah di perusahaan-perusahaan. Entah apa penyebabnya.
Sebagian dari boss mungkin berpikir “ah staf nggak perlu tahu banyak, yang penting mereka jalankan apa yang saya perintahkan”. Sebagiannya lagi (terutama pemilik private company) mungkin berpikir “ini strategi bisnis, mereka (staf) tak boleh tahu banyak”.
Untuk kawan-kawan yang masih kuliah, ini bukan teori juga bukan hayalan. Tetapi fakta, yang suatu saat nanti (jika sudah bekerja) akan anda alami—dimana atasan memerintahkan sesuatu tanpa penjelasan yang cukup.
Bagi saya pribadi, ini adalah contoh praktek komunikasi bisnis yang buruk. Mengapa saya katakan buruk?
- Pertama, secara tidak langsung boss/atasan membiarkan staf dalam keragu-raguan yang pada akhirnya membuat alur pekerjaan menjadi terhambat atau minimal melambat. Akan menjadi lebih parah apabila staf-nya kebetulan orang yang tidak tahan stress—pikirannya akan terus dihantui oleh transaksi yang membingungkan tersebut sehingga tidak bisa fokus dengan baik untuk mengerjakan tugas lainnya. Apalagi pekerjaan akuntansi/keuangan yang memang memerlukan konsentrasi tinggi.
- Kedua, saya terpaksa menemui pak dirut untuk klarifikasi kasus tersebut. Saya sih tidak masalah, lha wong setiap menit yang saya gunakan untuk mereka sudah dihitung dan dibayar koq. Yang rugi ya klien sendiri, karena terpaksa harus membayar saya ekstra (untuk datang). Disamping juga waktu pak direktur menjadi terganggu oleh kehadiran saya.
Idealnya, pada kasus ini, staf bisa menanyakan sendiri kepada orang yang memberi perintah, “Mohon maaf, ini ruko rencananya untuk apa?” Tetapi saya juga tidak mau menyalahkan staf, karena di perusahaan lain saya pernah menyaksikan langsung atasan yang mengeluarkan kata-kata tak layak dengar kepada bawahannya:
[quote]“Sudah, jangan banyak pikir dan tanya, lakukan saja apa yang saya perintahkan. Saya sudah punya kepala sendiri, yang saya butuhkan hanya tangan dan kaki”.[/quote]
Bisa jadi pegawai accounting klien saya itu pernah menerima kata-kata sejenis dari atasannya sehingga tidak berani banyak tanya.
Sorry, ngelantur. Kembali ke kasus perusahaan yang membeli tanah dan bangunan namun tidak digunakan. Bagaimana perlakuan akuntansinya?
Dari perbincangan di telepon saya menyimpulkan bahwa perusahaan memang membeli ruko (tentu termasuk tanahnya). Artinya, perusahaan memang harus mengakui transaksi tersebut dalam laporan keuangannya.
Untuk tahu bagimana perlakuan akuntansinya, ada satu informasi kunci yang perlu diketahui terlebih dahulu, yaitu: UNTUK APA PERUSAHAAN MEMBELI TANAH DAN BANGUNAN TERSEBUT? (Catatan: Yang paling penting di sini adalah “NIATNYA”, perkara nanti pelaksanaanya berbeda, itu lain soal):
1. Jika NIATNYA untuk KEPERLUAN OPERASIONAL perusahaan itu sendiri—dalam artian: untuk menghasilkan atau menyediakan barang/jasa yang akan dijual, MESKIPUN SAAT INI MUNGKIN BELUM DIGUNAKAN, maka tanah dan bangunan tersebut diakuai sebagai “Aktiva Tetap” sebagaimana ketentuan PSAK 16, atau istilah IAS 16-nya “Long-Term Assets”, atau istilah U.S. GAAP-nya “Property, Plants and Equipments” (PPE).
Diakui sebesar nilai perolehan dan pengeluaran-pengeluaran yang menyertainya. Bangunannya, sejak siap untuk digunakan, disusutkan sepanjang umur ekonomisnya, dan tanahnya mungkin di revaluasi setiap kuartal, semester atau tahun. Pengeluaran-pengeluaran yang timbul setelah penggunaan, bisa dikapitalisasi atau dibebankan di periode berjalan. Dan seterusnya (silahkan baca PSAK 16).
2. Jika NIATNYA bukan untuk keperluan operasional perusahaan itu sendiri, masuk ke kelompok INVESTASI JANGKA PANJANG, bersama-sama dengan instrument investasi jangka-panjang lainnya (a.l.: equity securities, bonds held-to-maturity, sinking fund for bond retirement, dll). Persisnya, ada di antara persediaan dan aktiva tetap.
Dalam PSAK dikenal yang namanya “Properti Investasi”. Untuk tahu apakah ruko dalam kasus ini bisa dikelompokan sebagai properti investasi atau tidak, tentunya perlu tahu, terlebih dahulu, apa itu properti investasi dan bagimana perlakuan akuntansinya.
Kita bahas sedikit…
Perlakuan Akuntansi Properti Investasi
Khusus mengenai properti investasi dibahas dalam PSAK 13 (Revisi 2007), yang kemudian direvisi lagi di tahun 2011 (berlaku efektif per 1 Januari 2012 kemarin). Nah, apa itu property investasi? Dalam PSAK 13 disebutkan:
“Properti investasi adalah properti (tanah atau bangunan atau bagian dari suatu bangunan atau kedua-duanya) yang dikuasai (oleh pemilik atau lessee/penyewa melalui sewa pembiayaan) untuk menghasilkan rental atau untuk kenaikan nilai atau kedua-duanya, DAN TIDAK untuk:(a) digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa atau untuk tujuan administratif; atau(b) dijual dalam kegiatan usaha sehari-hari.”
Ketika saya tanya Dirut perusahaan klien mengenai tujuan perusahaan membeli ruko, jawaban beliau sangat enteng:
[Dirut]: Belum tahu persis, untuk apa. Yang jelas harganya sangat oke, maka gua beli.
[Saya]: Lho, harus tahu. Kalau nggak, tar laporan keuangannya gimana?
[Dirut]: Gua mah nggak peduli. Harga bagus ya gua ambil. Emangnya nggak boleh? Perkara laporan keuangan ya urusan elu. Buat apa gua bayar elu mahal-mahal?
Lha ya ini yang sering saya bilang: Entrepreneur, terutama di perusahaan-perusahaan yang belum listing di bursa, TIDAK PEDULI URUSAN STANDAR AKUNTANSI. Yang mereka pedulikan hanya untung-atau-rugi saja.
Menghadapi pengusaha model seperti ini, perlu sedikit trick. Bagimana trick-nya?
Sebenarnya ini rahasia kelemahan mereka (pengusaha) hahahahaha…. Caranya gampang; bilang saja berpengaruh ke legalitas. Mereka memang tidak peduli standar akuntansi, tetapi sangat concern terhadap legalitas. Sambil membahas topik lain di ruang accounting, saya buka HP, lalu kirim email ke Dirut yang isinya:
“Mohon informasi mengenai ruko, itu dibeli untuk apa? Ini penting. Hati-hati. SIUP perusahaanmu adalah manufaktur, bukan jual-beli property! Kalau tim yustisi biro ekonomi datang, entar repot lho.”
Tembakan email itu ternyata sangat manjur. Selang beberapa menit, beliau membalas email saya dengan penjelasan singkat:
“Ruko itu dibeli untuk keperluan antisipasi ekspansi di masa-masa yang akan datang. Untuk sementara tidak akan dipakai sampai dibutuhkan. Jikapun nanti ternyata tidak memungkinkan untuk ekspansi, ya tinggal dijual juga tetap untung.”
Sayangnya jawaban emailnya masih ‘bersayap’ alias ‘banci’ alias tidak bisa serta-merta dijadikan dasar pertimbangan. Setengahnya mengatakan untuk tujuan operasional di masa yang akan datang, setengah sisanya menyiratkan kemungkinan akan dijual kembali.
Merujuk kembali ke PSAK 13, disana diberikan beberapa contoh jenis perolehan property yang bisa digolongkan sebagai properti investasi. Paragraf 8 menyebutkan:
“Berikut adalah contoh properti investasi:(a) tanah yang dikuasai dalam jangka panjang untuk kenaikan nilai dan bukan untuk dijual jangka pendek dalam kegiatan usaha sehari-hari;(b) tanah yang dikuasai saat ini yang penggunaannya di masa depan belum ditentukan. (Jika entitas belum menentukan penggunaan tanah sebagai properti yang digunakan sendiri atau akan dijual jangka pendek dalam kegiatan usaha sehari-hari, tanah tersebut diakui sebagai tanah yang dimiliki dalam rangka kenaikan nilai);(c) bangunan yang dimiliki oleh entitas (atau dikuasai oleh entitas melalui sewa pembiayaan) dan disewakan kepada pihak lain melalui satu atau lebih sewa operasi;(d) bangunan yang belum terpakai tetapi tersedia untuk disewakan kepada pihak lain melalui satu atau lebih sewa operasi.(e) properti dalam proses pembangunan atau pengembangan yang di masa depan digunakan sebagai properti investasi.”
Dari isi PSAK ini saya masih belum bisa menyimpulkan; apakah ruko yang baru dibeli tersebut sebaiknya dimasukan ke “property investasi” atau tidak, karena tujuannya sudah jelas untuk keperluan ekspansi di masa yang akan datang—yang artinya untuk keperluan operasional (masuk aktiva tetap), namun di sisi lainnya juga mengatakan bisa jadi dijual kembali (masuk properti investasi).
JIKA, sekalilagi jika, diakui sebagai properti investasi, berapa yang harus diakui? Bagimana pengakuan awalnya? PSAK menyebutkan:
“Properti investasi pada awalnya diukur sebesar biaya perolehan. Biaya transaksi termasuk dalam pengukuran awal tersebut.”
Lebih lanjut…
“Biaya perolehan dari properti investasi yang dibeli meliputi harga pembelian dan setiap pengeluaran yang dapat diatribusikan secara langsung. Pengeluaran yang dapat diatribusikan secara langsung termasuk, misalnya, biaya jasa hukum, pajak penjualan, dan biaya transaksi lainnya.”
Selebihnya, monggo baca PSAK 13.
Khusus untuk ruko yang baru dibeli tersebut saya tidak bisa masukan sebagai property investasi karena tujuannya sudah jelas: untuk keperluan operasional dimasa yang akan datang, lebih tepatnya untuk antisipasi ekspansi, bukan semata-mata untuk mencari untung dari selisih kenaikan harga.
Akhirnya saya memutuskan untuk memasukannya ke dalam kelompok investasi jangka panjang, tepatnya di akun “Properti Cadangan Ekspansi” yang saya ambil dari versi terbarunya U.S. GAAP yang lebih dikenal dengan “Accounting Standard Codification” (ASC) buatan FASB. Daripada saya memaksakannya masuk ke “Properti Investasi”-nya PSAK yang juga kurang tepat. Mungkin kawan-kawan memiliki interpretasi sendiri? Monggo.
Bagaiamanapun juga, saya pikir, tak ada masalah. Toh sama-sama masuknya ke kelompok Investasi Jangka Panjang. Jika diantara kawan-kawan ada yang mengalami kasus serupa, silahkan baca PSAK 13 dengan cermat. Sepanjang kriterianya terpenuhi, silahkan akui sebagai properti investasi sebesar perolehan (pembelian ditambah pengeluaran terkait).